Suara ghibahan dari samping sangat terdengar jelas dari telinga, mahasiswa kutu buku kita yang sudah beberapa kali telat mengirim tugas. Andi yang dulu sangat rajin dan sering paling pertama mengumpulkan tugas, sudah terlupakan dan dikira 'mahasiswa pemalas dan pemarah'. Kehidupan kampus Andi berubah di sosial teman.
Rambut Andi sering tidak terurus, ia teringat dengan perkataan kakak tingkat saat dulu. Kak Ayu yang selalu mengejar Andi yang selalu dilanda tugas, sekarang menghilang tanpa jejak seperti embun di siang yang terik. Semenjak kejadian arwah itu, Ayu tidak pernah terlihat saat siang bahkan waktu patroli malam di kampus.
Namanya awalnya tidak enak meminta tolong Andi untuk berpatroli sepanjang malam, syukurnya Andi menerimanya sukarela, tetapi dengan syarat tidak setiap hari. Ia sampai harus membeli soft drink atau terkadang kafein yang lebih tinggi, matanya sepenuhnya seperti panda. Herannya, semakin sering ada saja orang yang masuk ke kampus di malam hari. Ia jadi tidak fokus dengan tugas. Hal yang paling ia tidak sukai saat patroli adalah hari jumat, begitu banyak jin yang sering mengamuk. Terkadang ada jin juga yang berusaha masuk kampus, ini membuat Namanya dan Andi jengkel.
Tidak lama lagi semester tiga menyambut Andi yang tidak berharap banyak, ia lelah dengan semua tugas dari dosen 'killer' itu. Walaupun sudah berlalu, ada dua tugas yang tertinggal karena harus patroli sampai pagi. Ia terkadang juga tidak sempat mandi. Awalnya ia begitu malu dengan waktu yang berantakan ini, tetapi malunya sudah menghilang karena otaknya yang diasah terus-menerus.
Andi yang dulunya sering bergabung dengan obrolan orang lain, sekarang lebih mementingkan tugas selesai dan berpatroli daripada mencari wajah. Ia tetap menulis dengan pensil kecil dan kurus di samping para mahasiswa yang tidak tahu kehidupannya. Andi mengakui bahwa selama berbicara dengan mereka, mereka selalu memasang wajah kedua yang membuat Andi tidak pernah cerita pribadi. Andi menjadi penasaran, 'apa yang akan terjadi jika aku menceritakan kehidupan yang sedang kujalani?' tapi ada satu kemungkinan pasti, banyak yang tidak peduli.
Setelah berjam-jam ia belajar sedikit tentang politik, akhirnya mereka pergi dengan sendirinya. Andi mematikan tabletnya dan baru tersadar, tangannya gemetar kelelahan menulis satu buku tulis berukuran besar penuh. Dia terlalu terbiasa mengetik daripada menulis, ia teringat dengan perjuangannya masuk dunia jurnalis saat SMA.
Andi kemudian pergi ke studio produksi, ia harus menyelesaikan tugas editing video nya tiga hari sebelum deadline, jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama. Kebetulan lorongnya juga ada ruang arsip, ia jadi ingin membaca kertas-kertas terbengkalai itu. Mungkin masih ada yang membacanya terutama dosen, tetapi peminat arsip di angkatannya sangat sedikit.
Setelah beberapa langkah sembari melamun, ia terkejut sekali. Bukannya memasuki studio produksi, ia malah berada di lorong sebelah yang jalannya memutar. Andi berpikir itu karena lamunannya, akhirnya ia menuju ke lorong yang ia lewati tadi. Lorong itu cukup ramai, ada sedikit anak terlantar di lantai hanya untuk belajar, padahal sudah disediakan fasilitas yang bagus.
Ia membersihkan kacamatanya dan berkedip beberapa kali, ia kembali ke lorong sebelah tanpa sadar. Andi merasa bingung kenapa hal ini bisa terjadi, ia memutuskan pergi melewati satu lorong dengan tadi, tetapi berbeda arah. Tentu suasana berisiknya masih sama dengan arah lorong yang berbeda ini. Akhirnya ia bisa menggeser pintu studio produksi, tetapi Andi tetap diluar dan menutupnya kembali.
Terlihat dari dekat didepan ruang arsip, tidak ada seorangpun duduk disana. Salah satu mahasiswi sedang berjalan ke arahnya sembari menelpon, sepertinya ia ingin melewati lorong ini. Tepat saat di batas ruang arsip, mahasiswi itu memutar arahnya dan tidak melewati ruang arsip itu. Perasaan Andi berkata ada yang mengganjal, ia tahu itu mungkin sebuah kebetulan bagi orang lain. Bisa jadi wanita itu memang pergi karena teleponnya. Karena ia belum yakin, Andi akhirnya berdiri dekat jendela lorong untuk menunggu orang lain.
Andi tahu waktunya akan terbuang, tetapi kebiasaan memanjakan pertanyaannya berusaha mencari berbagai alasan. Ia kemudian memeriksa ponselnya, tiga jam lagi sebelum sore datang. Waktu terus berjalan, suasana yang ramai semakin hening. Lorong sepi ini terkadang dikunjungi satu atau dua orang saja, mereka hanya memasuki ruangan dan tidak menyusuri bahkan melewati ruang arsip satupun.
Ia teringat pembicaraan saat kejadian sebelum Ayu menghilang, Andi tiba-tiba ingin mencari tahu sosok Balang itu. Tanpa terasa matahari sudah tenggelam dan jawabannya belum disuapi dengan benar.
Andi yang masih di gentayangin pertanyaan di benaknya, muncul pertanyaan lain. Namanya pernah bilang 'Balang hampir menjajah kampus ini', tapi Balang akhirnya kalah karena sesuatu. Apa yang membuat Balang kalah? Dan mengapa 'sesuatu' itu melindungi kampus? Pertanyaannya bertumpuk lagi.
Bagi Andi, kata 'dijajah' biasa dikaitkan dengan kekuasaan. Jika mengingat usaha pencariannya di online, hal yang paling masuk akal adalah artikel berbau ghaib itu. Walaupun sulit mengakuinya, setelah melihat masalah yang ditimpa Andi kali ini, hipotesis yang menurutnya masuk akal adalah artikel itu. Tidak banyak yang ia ingat, mungkin sebuah kerajaan gaib yang tinggal di tanah kampus ini.
Tapi ia kurang setuju dengan sebuah 'kerajaan'. Selama ia berpatroli, ia tidak sekalipun melihat pemandangan dari bentuk kerajaan yang biasanya dilihat. Hanya saja kehidupan mereka hampir mirip dengan budaya kerajaan manusia. Ada yang rela menjadi prajurit dan penjaga, ada yang menjadi penghuni tempat tertentu, beberapa makhluk halus juga saling berinteraksi dan tidak banyak yang bertengkar.
"Tentu saja tidak mungkin mereka semua bisa bersatu tanpa…" ia melebarkan mata dan tersadar. "PEMIMPIN!" Teriaknya lumayan terkejut.
Walaupun pertanyaan pertama dari hari ini belum terjawab, ia senang bisa menjawab pertanyaan sebelumnya. Ia menyipit matanya ke ruang arsip, tidak mungkin para dosen melarang para mahasiswa untuk membaca ruang arsip. Tetapi semenjak tadi, tidak ada seorangpun yang melewati ruang arsip bahkan memasukinya.
Ia memberanikan diri berjalan ke depan ruang arsip, tangannya yang tidak sengaja mengangkat tiba-tiba tersengat entah darimana. Tangannya refleks mengibaskan-nya, rasanya seperti cubitan di kulit jari-jarinya yang begitu cepat sekaligus menyakitkan. Ia memberanikan diri menyentuh penghalang itu, rasanya lebih menyakitkan. Walaupun tidak terlihat, sudah pasti sengatan listriknya adalah penghalang 'sesuatu'.
"Berhentilah mengganggu beliau" gerutu makhluk tak di undang.
Andi mencari suara itu, suaranya terdengar familiar. "Eh, kamu…" siapa lagi jika bukan makhluk itu?
"Yup, sekarang jangan mengganggunya" nadanya terlihat Andi seperti pengganggu. Suara makhluk siluet itu masih rusak seperti radio setelah dicuci.
"Siapa 'beliau' yang kamu maksud?"
"Jangan ganggu!" Bentaknya, sekarang suaranya terdengar sedikit seperti wanita.
Andi terpaksa mengangguk dan pergi tanpa mendapatkan suapan jawaban yang enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alunan Biola Mistis Di Armonia [ The End ]
FantasyDi balik melodi indah yang dimainkan Andi, seorang violinis berbakat di UKM Musik di Universitas Armonia, ia harus menjalani ritual pemutaran instrumen magis untuk menyelamatkan kampus dari gangguan roh jahat. Namun, sebagai jurnalis yang harus ber...