Andi berdiri di samping jendela, ia menatap beberapa orang sedang berjalan di bawah sana. Ia beberapa kali melihat ruang seni yang masih ditutup, ia tahu kakak tingkat pemalu itu belum muncul hari ini.
Suara angin yang mengelilingi pikiran Andi seketika terpecah karena terdengar pintu digeser, para mahasiswa keluar dengan berisik. Ada yang merasa lega, ada yang lelah, ada yang segera ingin pergi, bahkan beberapa berbicara satu sama lain. Andi mendekati salah satu mahasiswi yang sedang memainkan ponselnya dengan wajah datar.
"Permisi kak" ucapnya setelah cukup dekat. "Boleh minta waktunya sebentar?"
Wanita itu mematikan ponselnya. "Ada apa?" Tanyanya dengan tersenyum
"Apa kakak kenal Kak Ayu?"
Wanita itu berusaha mengingat. "Amanda Sekar Ayu?"
Andi mengangguk senang. "Kakak tahu rumahnya? Saya ingin menjenguknya"
"Dengan senang hati, tapi ada apa?dia sakit?" Wanita itu mencari nomer Ayu di ponselnya.
"Dari kemarin nggak izin saat ikut UKM Musik, nggak tahu juga alasannya "
Wanita itu kemudian memberikan alamat rumah Ayu.
Setelah selesai Andi mencatatnya. "Makasih banyak ya kak" ucapnya begitu ekspresif. "Saya Ahmad Rofiq Andi, salam kenal ya kak" ia menawarkan jabat tangan.
Wanita itu menerimanya. "Anna Dalinda, saya duluan ya? Titip salam ke dia ya" Pamitnya kemudian pergi.
Karena kelasnya juga sudah selesai, Andi segera pergi ke alamat yang dimaksud mahasiswi tadi. Perjalanannya membutuhkan waktu lama, ia bahkan harus keluar kota dan memasuki pedalaman yang cukup sulit.
Yang awalnya jalan besar dan beraspal, semakin lama semakin mengecil dan berpasir. Ia begitu lelah karena terus berjalan, bahkan tadi ia harus terus berdiri di bus karena penuh. Beberapa kali juga Andi harus bertanya kepada orang sekitar untuk memastikan alamatnya, andaikan saja ada teknologi canggih khusus untuk peta. Ia juga melihat banyak sawah, Andi jadi ragu-ragu karena hanya sedikit rumah yang terlihat.
Setelah cukup lama, mungkin sekitar tiga jam dari kampus. Ia akhirnya menemukan pintu gerbang yang sesuai dengan alamat rumah Ayu, yaitu gerbang Desa Wuasa, Andi belum pernah bepergian sejauh ini. Suasananya terlihat begitu sunyi, seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan. Beberapa rumah terlihat tidak berpenghuni dan berantakan, tetapi desa itu lebih banyak memiliki tanah kosong daripada desa yang ia lewati dari tadi.
Andi mulai berjalan sembari melihat sekitar, siang yang begitu terik membuatnya enggan melihat matahari. Kebanyakan orang yang ia lihat sudah lansia dan memakai kebaya ataupun surjan, padahal di zaman sekarang, tidak banyak yang masih memakai pakaian adat. Rumah-rumah mereka sepertinya dibuat secara tradisional, herannya bukan hanya satu atau dua rumah yang ditempelkan kertas kuning ber-mantra. Kemungkinan desa itu memang menggunakan sihir dalam kehidupan sehari-hari mereka, tetapi dari tadi ia belum melihat seseorang menggunakan sihir atau mantra.
Akhirnya setelah belok kanan dan berjalan lurus hingga jalan buntu, ia menemukan sebuah rumah sederhana. Rumah yang sepertinya dibuat secara tradisional, terlihat seperti rumah lainnya. Tetapi berbeda dengan rumah yang lainnya, kertas mantra di rumahnya lebih banyak, bahkan hampir memenuhi bagian luar rumah. Apakah ada sesuatu yang harus dilindungi?
Yang 'katanya' Ayu keturunan keluarga penyihir, berarti ini hal yang normal. Andi mengetuk pintu tiga ketukan, ia berharap benar rumah milik Ayu. Suara hentakan kaki mulai mendekati pintu, Andi mengepalkan tangannya. Pintu besar dan berkayu itu terbuka perlahan, wanita berkebaya menampakkan dirinya seperti gadis polos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alunan Biola Mistis Di Armonia [ The End ]
FantasyDi balik melodi indah yang dimainkan Andi, seorang violinis berbakat di UKM Musik di Universitas Armonia, ia harus menjalani ritual pemutaran instrumen magis untuk menyelamatkan kampus dari gangguan roh jahat. Namun, sebagai jurnalis yang harus ber...