Kamera segenggam tangannya hampir saja dirusak oleh mahasiswa kepo itu, siapa lagi jika tidak Andi? Ia mencari informasi tentang kamera mungil itu di ponselnya, angin menembus tubuhnya seperti memberi semangat. Ia harus cepat-cepat menyuapi jawaban sebelum matahari mulai turun.
"Sial, bagaimana cara mengatur cahayanya!?" Keluh Andi terburu-buru. Ia takut wanita tinggi itu datang.
Tiba-tiba tangan tak diundang menyentuh kedua pundak Andi.
Andi tidak sengaja melempar kamera. "Agh!!" Ia segera menangkap kamera hitam itu, pertama kali ia membeli kamera dan untuk terakhir kalinya saking harganya yang tinggi.
"Aku sudah menunggumu dari tadi" ucap Ayu kemudian meninggalkannya. "Ayo"
Andi menghela nafas cepat. "Tunggu aku"
"Kata Namanya, Siapa cepat dia sampai di ruang, ia tidak perlu berpatroli!!" teriak Ayu sembari lari.
"Heiii!!!" Andi segera memanggul tasnya dan ikut berlari.
Mereka saling memotong angin yang berlawanan samping, Ayu membelakangi Andi dengan senang. Mereka memasuki gedung musik tanpa peduli sekitar, Andi rasanya ingin menarik sweater Ayu, tetapi ia harus menjaga martabatnya. Suatu keberuntungan untuk mahasiswa kutu buku itu, keramaian terlihat menghalang Ayu di lorong. Tubuh kutu buku itu mampu menyalip di celah-celah kecil layaknya kucing, Andi akhirnya mendahului wanita tinggi itu.
Andi berjalan tiga langkah dengan santai dan menggeser pintu kayunya, harum dari kertas dan musik tercium di hidungnya dengan jelas. Tetapi matanya tak percaya melihat pemandangan ini, Andi sudah memastikan bahwa tadi Ayu masih terperangkap di keramaian itu. Tangannya yang kurus dengan kuku merah terang membawa kertas partitur. Kaki kanannya menduduki kaki kirinya secara bersilang, rambut gelombang menari mengikuti angin dengan pelan.
"Ha!" Ayu tersenyum. "Jangan lupa patroli malam ini"
"Ta…tapi bagaimana cara kakak masuk?" Andi melihat keramaian itu lagi, sungguh tidak ada Ayu.
"Cukup keluar dari jendela dan berpindah tempat" ucapnya sembari memamerkan kertas kuning itu. Andi geram dengan tingkah kakak tingkatnya.
Andi menghembuskan nafas, mengaku kalah. "Tapi aku belum pernah patroli"
"Itu akan menjadi pengalamanmu" ucap Ayu santai.
Andi mengambil biola dan mengaturnya. "Pengalaman untuk apa?"
Ayu terdiam sejenak. "Mental mu"
"Okey" biola kamuflase itu menaruh kakinya di pundak Andi. "Bersiaplah"
Ayu dan Andi mulai memainkan lagu ritual itu, Andi sudah sedikit terbiasa dengan efek sampingnya. Andi lebih memilih melakukan ritual di sore hari daripada mengingat kejadian dulu, walaupun sama mengurangi waktunya. Akhirnya lagu yang tidak dikenal Andi itu selesai.
Ayu kemudian tiduran di sofa. "Setidaknya ini tidak membebaniku, kerja bagus"
"Tidak untukku" Andi duduk di salah satu kursi. "Aku hanya perlu seperti satpam, iya kan kak?"
"Satpam ya…" Ayu menatapnya lama. "Tidak juga"
Andi mencibir. "Bukankah kakak lebih kuat?"
Ayu menggeleng dan terkikik. "Biolamu lebih kuat, kamu cukup menemaniku saja"
"Pada akhirnya kakak juga berpatroli"
"Oh ya, ada yang ingin kuberikan padamu" Ayu merogoh saku di celananya, secarik kertas keluar dan diberikan ke Andi. "Pelajari itu"
Andi membaca kertas dengan tulisan atau mungkin gambar kecil yang aneh, ia sedikit ragu-ragu. "Apa Ini simbol, bahasa, atau mantra kompleks?" Tebaknya.
"Itu bahasa sekaligus mantra, kamu juga bisa mengkombinasikannya dengan biolamu." Jawabnya semangat, Andi baru tahu Ayu bisa banyak berekspresi.
"Mengapa harus lagu?" Pertanyaan itu langsung tumpah tak sengaja.
Ayu terdiam, bingung menjelaskannya. "Biar ku ringkas, lagu lebih kuat daripada mantra itu sendiri." Ayu berfikir lagi. "Bahkan jika mantra atau lirik lagu itu diletakkan di kertas, sihir kertas itu tak bisa menandingi alat musik dan nyanyian dari lirik lagu itu. Terjawab?"
Andi berfikir sejenak. "Apakah ada yang bisa mengalahkan alat musik?"
Ayu menggeleng tidak tahu. "Namanya hanya menyampaikan sampai itu saja"
"Mengapa tidak Namanya dan jin yang lain saja untuk menahan perisai itu? Bukankah mereka juga punya akal?"
"Sayangnya, hanya manusia yang lebih bisa menahan efek samping itu" jawab Ayu, tanpa sadar kepalanya sudah di bawah kaki sofa dan kakinya di atas punggung sofa.
"Apakah kakak mulai belajar sosial?"
"Sejak kecil aku sudah begini! dan aku selalu bersosialisasi" jawab Ayu merasa dihina, walaupun itu kenyataannya.
"Baiklah, sekarang biarkan aku mengerjakan tugas" Andi berdiri dan menaruh biolanya.
"Dasar maniak tugas, memang tidak ada yang waras di kampus kecuali aku." Ayu memposisikan kembali pose duduknya seperti elegan yang biasa dilihat orang lain.
"Bagaimana dengan tugas kakak sendiri?" Bagaimana mungkin seorang mahasiswa tidak diberi tugas?
"Aku cukup banyak waktu dengan tugasku, semoga beruntung"
"Semoga" Andi kemudian keluar dari ruangnya.
Andi kemudian pergi ke taman dengan tas dan tumpukan buku tebal. Setelah berkeliling cukup lama untuk mencari tempat yang setidaknya aman dari jin maupun manusia, Andi bisa duduk dengan tenang di bawah pohon besar. Pohon itu hampir mirip dengan pohon beringin, tetapi tidak terlalu lebar dan dedaun nya cukup berantakan. Ia bisa menikmati banyak oksigen dengan tenang daripada menghirup polusi berserakan.
Walaupun waktu sudah menjelang malam, Andi tetap menatap laptopnya dengan mata merah berkelopak panda. Karena tidak sudi dan tidak rela meninggalkan tugasnya untuk berpatroli, ia memutuskan untuk menunggu Namanya atau Ayu menjemputnya. Sedari tadi, dia mempunyai firasat buruk dengan berdiam di pohon besar ini.
Awalnya hanya terdengar suara burung gagak ataupun tokek dan cicak, tetapi lama kelamaan mulai ada yang aneh. Beberapa kali terdengar jelas suara-suara menggerutu yang tidak dikenal Andi, padahal tempat itu jelas-jelas sunyi bahkan satpam pun tidak berpatroli disini. Andi segera menyimpan semua hal yang dikerjakan dan bersiap-siap pergi. Saat memasuki laptopnya ke dalam tas, ribuan helai rambut menutupi pandangan atas Andi. Andi tersenyum dan membungkuk sembari memapah tasnya, dia kemudian berjalan santai dengan gemetar hebat tanpa melihat ke belakang. Ini bukan pertama kalinya dia melihat setelah kejadian itu, tetapi jamuan dari penghuni membuatnya menjadi rendah hati sekali.
Setelah berjalan lima belas langkah, ia tertahan oleh tangan asing yang menekan pundak kanannya, seperti deja' vu. Senyumnya menghilang dan segera menyingkirkan tangan keriput keriput membiru seperti mayat kemudian berlari. Ia menutup mulutnya dan menahan pita suaranya berteriak, Andi baru ingat ia tidak diberi jimat buatan Ayu sejak tadi. Ia terpaksa harus mencari Ayu di tengah keramaian makhluk astral lainnya.
Andi berusaha menghindari tatapan jin lain dan masih belum nampak Namanya atau Ayu. Andi tidak yakin jin tadi masih mengejarnya atau tidak, ia terus berlari dengan menahan rasa sakit kakinya. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke ruang UKM Musik untuk mengambil biolanya, untung saja gedungnya tidak jauh dari pelariannya.
Andi segera menggeser bingkai jendela dan lompat memasuki ruang gelap itu, ia tidak merasakan dan melihat keberadaan jin. Kakinya gemetar hebat dan jatuh untuk kesekian kalinya. Ia menyeret kakinya dengan lengan dan tubuhnya sembari mencari biola kamuflase itu, untung saja masih di kursi yang sama ia duduki tadi.
Suara hujan segera terdengar deras, sialnya ia tidak bisa keluar dari gedung. Saat ia menengok jendela, makhluk itu berjongkok di atas bingkai kecil itu. Petir menyambar tak jauh dari kampus Armonia yang membuat jin itu tertutupi bayangan. Andi menyeret tubuhnya mundur hingga pintu kayu, ia memberanikan diri menggesek benang biola dengan busurnya.
Hanya dalam dua gesekan yang menggunakan tangga nada lagu ritual, sebuah api besar tiba-tiba keluar dari dada jin itu. Bentuknya baru tampak setelah api itu membakarnya, rambut yang panjang terbakar seperti kain bersama gamis putih panjang, wajahnya yang keriput biru itu meleleh seperti lilin. Andi segera menutup mata tak sanggup memandang jin wanita buruk rupawan itu, andaikan saja pendengarannya tidak mendengarkan jeritan menyiksa itu. Akankah dia selamat dari jin tersebut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Alunan Biola Mistis Di Armonia [ The End ]
FantasyDi balik melodi indah yang dimainkan Andi, seorang violinis berbakat di UKM Musik di Universitas Armonia, ia harus menjalani ritual pemutaran instrumen magis untuk menyelamatkan kampus dari gangguan roh jahat. Namun, sebagai jurnalis yang harus ber...