Devon diseret masuk ke dalam markas Sinister oleh dua orang yang memeganginya dengan erat, memaksa langkahnya untuk masuk ke dalam tempat itu.
Devon memperhatikan tempat yang menjadi markas Sinister dengan perasaan yang campur aduk. Ini adalah kali pertama dia masuk kesini, dan ada sedikit rasa kagum yang terselip dalam hatinya saat melihat susunan bagian dalam markas musuhnya ini.
Meskipun dari luar, markas itu hanya terlihat seperti rumah biasa, dengan puluhan motor yang diparkir secara acak di bagian depan, dan kebon kosong yang mengelilingi sekitarnya, tapi suasana di dalamnya terkesan sangat rapi dan nyaman.
Seperti rumah lainnya, Devon juga melihat bahwa bangunan ini terbagi menjadi beberapa ruang. Ketika pertama kali memasuki, kakinya melangkah melewati ruang depan tempat banyak orang berkumpul, merokok, bernyanyi, atau bermain game. Kemudian, langkahnya sampai di ruang tengah yang sedikit lebih kecil dari ruangan sebelumnya.
Di ruang tengah ini, terdapat berbagai perabotan yang tersusun rapi. Ada televisi modern yang menggantung di dinding, sofa besar, karpet, dan bahkan rak-rak yang berisi berbagai benda kecil. Sekilas, Devon juga melihat beberapa pintu yang mengarah ke ruangan lain yang dia tidak tau fungsinya.
Devon berbinar kagum melihat susunan interior markas Sinister yang meskipun tempat ini berfungsi sebagai markas, tapj isinya dijaga dengan sangat rapih. Devon terlalu sibuk melihat-lihat ke segala arah sampai dia mengabaikan seluruh pasang mata yang menatapnya, membuat nyali Devon seketika kembali menciut.
"Duduk di sini dulu!" perintah salah satu dari mereka sambil menunjuk ke sebuah sofa besar yang terletak di tengah ruangan. Devon menurut, membawa dirinya duduk di sofa itu dengan perasaan canggung.
Ketika tali yang mengikat tangannya dilepaskan, Devon menatap heran pada orang yang melakukannya. "Kasihannya tangan kamu sampe lecet gini. Aksa, tolong ambilin kotak obat dong, Sa!" ucap cowok yang tubuhnya paling kecil di antara mereka.
Orang yang disebut Aksa mendengus tidak senang. "Buat apa diobatin sih, Co?" protesnya.
Vico membalas ucapan aksa dengan mata yang melotot garang. "Aku bilang ambilin kotak obat, Aksa, ih!"
"Udah ambilin aja!" sahut satu orang yang baru datang. Devon mengenali kalau cowok itu adalah Fino, yang tadi memboncenginya di motor.
Devon menunggu dengan perasaan tidak nyaman yang bersarang di hatinya. Dia terus menundukkan kepala karena tidak berani menatap orang-orang yang ada di depannya, memainkan jemarinya sebagai penghilang rasa gugup.
Tidak lama Aksa kembali dengan membawa kotak obat. "Nih," katanya dengan ketus menyerahkan kotak itu pada temannya.
Devon menggeser tubuhnya dengan waspada saat cowok kecil tadi duduk di dekatnya, membuat cowok itu menatapnya bingung. "Kenapa malah geser kesana? Sini deketan, biar aku bisa ngobatin lukanya" katanya sambil kembali menggeser posisi duduknya.
Namun, semakin cowok itu mendekat, Devon juga semakin bergeser menjauh. Sampai tanpa disadari, tubuhnya menabrak sesuatu yang membuatnya langsung menoleh, dan mendapati ada seorang cowok yang tersenyum lebar di sisi kanannya. Devon refleks bergerak menjauh, tapi gerakannya malah membuat dia semakin dekat dengan cowok kecil yang kini sudah duduk menempel di dekatnya. Membuat Devon terjebak di antara kedua cowok itu.
"Jangan geser-geser terus dong nanti gua bisa jatoh, nih." Orang itu menujuk sisi sampingnya yang sudah berada di ujung sofa. "Udah diem aja, itu mau diobatin luka lo sama Vico," katanya.
Vico tersenyum senang. Dia mengacungkan jempolnya pada temannya itu. "Bagus, Sultan" pujinya.
Akhirnya, Devon tidak memiliki pilihan lain selain diam. Dia duduk dengan tegang, membiarkan Vico mengobati lukanya. Mulai dari lebam di sudut bibir, lecet pada pergelangan tangannya, dan juga beberapa luka yang Devon dapati di lengan. Semuanya Vico obati dengan begitu telaten.
Berapa orang lainnya yang melihat interaksi kedua cowok berbadan kecil itu jujur saja merasa gemas, mereka seperti melihat bocah taman kanak-kanak yang sedang mengobati temannya yang baru saja terjatuh, tapi mereka memilih tetap diam tanpa bereaksi apapun. Membiarkan Vico berkonsentrasi dalam mengobati luka pada tubuh Devon.
Sesekali, ringisan perih terdengar ketika Vico mengoleskan obat merah pada luka-luka yang masih basah, tapu sebeisa mungkin Devon menahan sakitnya, berusaha keras untuk tetap diam.
"Kalo sakit bilang aja, gapapa" kata Vico memberikan intruksi karena tidak tahan melihat Devon yang terus menahan suara dengan menggigit bibirnya.
Devon hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Masih merasa asing dan takut untuk sekedar bersuara. Meski begitu, setiap gerakan Vico yang terasa begitu halus dan hati-hati, membuat perasaan Devon berubah dari yang sebelumnya merasa ketakutan menjadi sedikit merasa aman.
"Dah selesai," kata Vico yang akhirnya selesai mengobati. Dia merapihkan kembali alat-alat yang dia pakai dan beranjak pergi dari sana.
"Nah karena lo udah selesai di obatin, jadi gua mau nanya-nanya sedikit." Cowok lainnya yang tidak Devon kenali mulai berdiri di hadapannya. Devon tidak merespon ucapannya sama sekali, karena dia mulai kembali merasa deg-degan.
Devon mengenali siapa cowok yang sedang bicara ini. Namanya adalah Sagara.
"Sebenernya lo tuh ada masalah apa sih sama kita? Gak bisa kah diomongin baik-baik aja? Kita bakal lakuin kalo misalnya emang ada solusi lain biar Sinister gak perlu lagi musuhan sama geng lo" tanya Sagara yang mencoba bernegosiasi.
Devon menggeleng kaku, kepalanya tertunduk. Dia tidak bisa menahan perasaan sedih yang merayap perlahan ke dalam hatinya. Pikirannya terbawa jauh, kembali teringat akan temannya yang telah tiada, membuat dia kembali merasakan kehilangan. Dia menggeleng kecil ketika matanya mulai berkaca-kaca dan menelan ludah dengan perasaan tercekik, mencoba keras untuk mengontrol dirinya sendiri. "Kalian gak akan bisa ngembaliin Bang Banu" cicitnya pelan. Sangat pelan sampai tidak ada yang bisa mendengarnya dengan jelas.
"Apa? Gua gak bisa denger lo ngomong apa" kata Sultan yang memfokuskan perhatiannya pada Devon.
"Bisa diulang tadi lo ngomong apa?" pinta Sagara.
Namun, belum sempat Devon mengatakan apapun untuk menjawab, Arson menerobos masuk. Mengejutkan semya orang karena suaranya yang bergema lantang. "Sini!" katanya berseru tegas.
Devon tersentak ketika Arson tiba-tiba menarik tangannya untuk membawa Devon masuk pada salah satu bilik kamar yang ada di dalam markas ini.
Sultan, Aksa, Vico, Sagara, Fino dan semua orang yang ada disitu berkedip bingung secara serentak. Merasa aneh pada tingkah Arson.
"Arson itu kenapa sih?" tanya Sultan mencibir.
"Gatau aneh banget," balas Sagara dengan bahu yang bergedik singkat.
"Udah mending lo pada istirahat. Tidur atau balik aja sana!" kata Fino memberi saran.
"Terus itu si Devon mau di gimanain, Bang?"
"Nanti gua suruh Arson yang urus" jawab Fino. "Fatah juga tadi masuk ke dalam kamar satunya kan?"
"Iya kayanya" jawab Sultan.
"Yaudah" kata Fino mengakhiri.
Anggota lain mengangguk. Setelah Fino beranjak pergi, mereka juga segera membubarkan diri dari sana dengan teratur.
__________________
Penasaran, kalian kebayang gak sih denah markas Sinister itu gimana? Tadinya gua mau bikin denahnya, udah jadi nih, tapi gambarnya gak bisa di save dan gak bisa di ss juga😭Ini gua deskripsiin singkat aja ya... Jadi di markasnya Sinister itu mulai dari pintu masuk ada ruang depan buat tempat anak-anak Sinister biasa kumpul, nyanyi atau ngerokok gitu. Ada juga ruang tengah buat tempat mereka kumpul juga, tapi di ruang tengah ini ada tv sama sofa-nya. Terus di markasnya ini ada 2 kamar tidur, satu gudang, dapur, kamar mandi, sama bagian outdor di belakang markas yang dijadiin tempat naro kandang ayam dan kandang burung dara sama anggotanya wkwk... Markasnya ini adanya di pojok gang buntu gitu, terus di kanan kiri markasnya ada kebon punya orang jadi Sinister ini gak punya tetangga dan gak ngeganggu warga sekitar kalo suka ngumpul rame-rame sampe tengah malem gitu
Nah kurang lebih gitu isi markas Sinister, nanti mungkin bakal dibikinin denahnya kalo udah nemu aplikasi bikin denah rumah yang bagus ya
Oke, enjoy reading semuanya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...