9. -

275 31 4
                                    

Ellan duduk di pinggir kasur, tangannya bergerak untuk mengelus kepala seorang gadis yang saat ini tertidur di atas kasurnya. Ellan menatap khawatir pada gadis ini, jam sudah menunjukan pukul 10.01 dan gadis ini belum juga bangun.

Rasa khawatir serta takut terus membesar dalam diri Ellan, ia tak tenang. Perlahan, ia memberanikan diri untuk mendekatkan wajahnya pada Callie.

Matanya ia pejamkan, dan rasa hangat perlahan muncul di keningnya. Ya, Ellan menyatukan keningnya dan kening Callie, berharap sang gadis cepat membuka mata.

"Ellan..." Perlahan, matanya terbuka. Namun tak berselang lama, mata itu kembali tertutup.

Akhirnya Callie sadar, ia merasakan dingin serta hangat di keningnya secara bersamaan, karna rasa penasarannya. Gadis ini memaksa matanya untuk terbuka, hal pertama yang ia lihat adalah Ellan.

Wajahnya dan Ellan sangat dekat saat ini. Dari raut wajahnya, Callie dapat melihat kekhawatiran yang besar dari Ellan.

"Ellan..." Suara Callie semakin lirih, ia menggerakkan tangannya untuk sedikit mendorong bahu Ellan. Bukan tanpa alasan, namun saat ini, Callie merasa sulit untuk bernafas.

Ellan merasa dorongan di bahunya, mustahil jika itu setan, jadi dengan cepat ia membuka mata lalu menjauhkan wajahnya dari Callie.

Ellan menatap Callie yang saat ini bernafas dengan ritme sedang, keringat bercucuran dari samping wajah hingga lehernya.

Ellan tak dapat berbohong, berbohong bahwa Callie terlihat sangat sexy saat ini. Ditambah dengan rambut yang terurai dan berantakan, mungkin bagi mereka yang tak tau, pasti akan mengira keduanya baru saja selesai melakukan sesuatu.

"Kepala aku sakit." Ellan tersadar dari lamunannya. Sial, sudah tahu bahwa sang pujaan hati sedang ada di dalam kondisi yang buruk, bisa-bisanya dirinya itu berpikir yang tidak-tidak.

"Bagian mana?" Tangan Ellan tertuju pada kepala Callie yang terhalang oleh rambut, ia mengelus kepala itu dengan pelan.

Callie tak menjawab, ia kembali diam sembari merasakan rasa nyaman akibat elusan dari Ellan di kepalanya, matanya ia pejamkan. Ellan tahu, bahwa gadisnya sedang berusaha menahan rasa sakitnya, serta mengingat apa yang sudah terjadi.

Di saat yang bersamaan, Ellan membulatkan keputusannya untuk memberitahu seluruh temannya tentang keluarga serta dirinya sendiri. Ia tak peduli lagi jika mereka akan menjauhi dirinya, atau kemungkinan paling buruk adalah, mati akibat temannya sendiri.

Callie membuka matanya, sadar akan hal itu. Ellan menghentikan elusannya dan membantu Callie yang seperti ingin merubah posisi menjadi duduk, tak ada suara yang keluar setelahnya.

Callie menyandarkan punggungnya pada tembok yang sudah diberi bantal oleh Ellan, perlahan ia melihat seluruh ruangan ini. "Ini, kamar kamu?" Ellan tak langsung menjawab, ia memilih untuk menetralkan perasaannya dahulu.

"Iya, ini kamar aku." Ellan menatap mata Callie yang seperti sudah melihat seluruh isi dari ruangan ini. Mereka saling beradu pandang untuk beberapa menit, seolah-olah sudah mengerti dengan apa yang akan terjadi setelah ini.

Ellan menghembuskan nafasnya dengan kasar, sepertinya ia harus memberitahu tanpa Callie bertanya. Sejujurnya, Ellan berpikir Callie akan bertanya terlebih dahulu sebelum pada akhirnya ia mengaku.

Ellan kembali menatap Callie setelah ia merasa, sudah waktunya. Terlihat dari mata gadis ini, bahwa ada harapan yang sangat besar, harapan bahwa apa yang baru saja dirinya alami hanya mimpi buruk belaka. Dan kehadiran Ellan saat ini adalah bentuk pertolongan, baginya.

"Ini bukan mimpi, Callie. Apa yang kamu lihat di hutan itu, semuanya benar." Mata Callie terpejam, menerima kenyataan bahwa manusia yang ia cintai bukanlah manusia seutuhnya.

Eternal Home (Cella)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang