11 -

221 20 2
                                    

"Jagain kakak lo itu, jangan sampe dia kenapa-kenapa."

"Tenang aja, gua bakal jagain dia. Kalian hati-hati di jalan, ya." Samudra dan Lyn mengangguk bersamaan, lalu melambaikan tangan pada Raisan yang masih setia berdiri di ambang pintu.

Lyn masuk ke dalam mobilnya, sedangkan Samudra sudah melajukan motornya. Untuk kedua kalinya mereka mengucapkan salam perpisahan, Raisan hanya tersenyum melihat kedua temannya pergi. Gerbang rumahnya dibuka oleh satpam, lalu kembali ditutup.

Samar-samar, Raisan dapat melihat seseorang dengan mata merah yang menyala. Dari postur tubuhnya, Raisan hanya bisa mimikirkan satu orang. Yaitu, Ellan. Raisan memperkuat genggamannya pada knop pintu yang sedari tadi ia pegang. Marah, kesal, dan kecewa menjadi satu di dalam dirinya.

Hampir satu menit keduanya beradu pandang, sampai akhirnya manusia jadi-jadian yang dianggap Ellan oleh Raisan pergi. Raisan menurunkan kedua alisnya yang sedari tadi naik akibat amarah dan kekesalannya, kepalanya sangat panas saat ini. Namun, jika ia teruskan, apakah akan ada hal yang berubah? 

Raisan menunduk, helaan nafas keluar secara kasar dari mulutnya. Ia teringat, bahwa kedua orang tuanya akan kembali besok. Lantas, bagaimana ia akan menjelaskan kondisi kakaknya saat ini? Tidak mungkin ia akan berkata jujur, itu hanya akan menambah masalah.

Dan tentu, membuat kedua orang tuanya khawatir. Sekali lagi, helaan nafas keluar dari mulut laki-laki ini. "Raisan...." Raisan dengan sigap mengangkat kepalanya. "Iya, sebentar." Raisan mundur satu langkah, lalu menutup pintu rumahnya. Ia membalikkan tubuhnya, dengan perlahan berjalan masuk, sembari terus menenangkan dirinya sendiri.

Hal yang pertama Raisan lihat adalah Callie. Dengan tubuh yang dibalut oleh selimut, mata sebam, serta tatapan kosong. Raisan tersenyum, walaupun berantakan seperti ini. Setidaknya sang kakak ada di hadapannya.

Raisan mendekatkan dirinya pada Callie yang sedang duduk di atas sofa, setelah berhadapan dengan kakaknya. Ia berlutut, lalu semakin tersenyum dengan tulus. "Kakak manggil Raisan?" Callie mengalihkan atensinya dari Telivisi menuju kedua bola mata Raisan.

Ia mengangguk dengan sangat pelan. "Ellan," bagaikan sebuah pisau yang sengaja di arahkan ke jantungnya, Raisan membeku. Namun, senyumnya tak luntur sama sekali.

Raisan tak tahu harus apa sekarang, ia juga lelah. Atensinya masih terkunci pada kedua bola mata sang kakak yang terlihat sangat kesakitan ini, sampai ia menyadari, bahwa Callie mengeluarkan air mata.

Aahh, ini semakin melelahkan. Bagaimana dirinya bisa mengembalikan sang kakak hanya dalam waktu satu malam? Itu mustahil. Raisan berdiri, senyumnya masih terukir jelas. "Kita istirahat aja ya, kak? Besok papi sama mami bakal pulang." Callie tak bereaksi apapun, air mata terus jatuh dari kedua bola matanya.

Merasa kakaknya tak menolak, dengan berat hati Raisan mendekatkan tubunya pada Callie. Ia menggendong sang kakak layaknya seorang pengantin, lalu berjalan menuju kamar sang kakak yang berada di lantai dua.

Langkah demi langkah Raisan lalui, pandangannya fokus ke depan. Tak peduli dengan nama yang terus kakaknya panggil. Seharunya ini adalah tugas dari laki-laki itu, bukan dirinya.

-

"Ketahuan." Atensi ketiga orang yang sedang duduk selayaknya petinggi di ruangan tengah ini beralih pada Aldo yang baru saja memasuki rumahnya. Aldo diam menerima segala arti dari tiga pasang mata yang mengarah padanya.

Dengan susah payah ia menelan ludahnya sendiri. "Ta-tapi, dia ngga tahu gue siapa."

"Duduk." Dengan sigap Aldo duduk, tepat di depan pintu. Yang ia pikirkan hanya menjalankan perintah yang diberikan oleh ketiga orang itu, tak peduli perintah apa itu.

Eternal Home (Cella)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang