Tsunade-hime

261 15 0
                                        

                         





Naruto dan Sasuke diijinkan kembali ke kelas, tanpa konsekuensi apapun. Padahal, berkelahi di sekolah apapun alasannya, hukumannya paling tidak skorsing 2 minggu. Entah Naruto harus merasa bersyukur atau tidak.

"Heh! Dobe! Kenapa ayahmu memeluk ayahku?" Sasuke meraih bahu Naruto, menghentikan langkah Naruto menuju kelas.

"Heh! Teme! Kau selalu memanggilku dobe. Padahal yang dobe itu kau. Tou-sanku memeluk ayahmu? Darimana? Jelas-jelas tadi ayahmu yang memanggil tou-sanku dan memeluknya duluan. Atau memang matamu itu picek?!" balas Naruto pedas.

"Kau! Jaga mulutmu itu. Ayahku tidak mungkin sembarangan memeluk orang. Aku saja ja ehm. Maksudnya, ayahku tidak akan bersentuhan dengan orang asing," Sasuke nyolot.

Naruto tersenyum sinis. "Apa yang kau tahu soal ayahmu? Tidak banyak kan? Sepertinya tuan muda ini tidak dekat dengan ayahnya ya?"

Perkataan Naruto tepat menghunjam titik sakit Sasuke, membuatnya emosi karena luka hati. Tangannya melayang ingin menonjok Naruto, namun bisa ditahan oleh Naruto.

"Belum kapok ya mukamu itu kubikin penyok? Minta dijadiin ayam geprek, hah?" Naruto berseru kesal seraya memelintir tangan Sasuke dan menguncinya.

"Yare, yare. Kalian ini sudah dibebaskan dari hukuman, malah ribut lagi. Harus ku apakan kalian?" Kakashi mendadak muncul.

"Sensei," Naruto menyapa setelah melepaskan Sasuke.

"Kembali ke kelasmu, Uchiha. Uzumaki, tetap disini," Kakashi mengusir bocah emo itu.

Sasuke merengut kesal. Kenapa banyak guru yang menyayangi si kuning ini sih?  Sasuke selalu merasa bahwa para guru menganakemaskan Naruto. Apa hebatnya dobe dari pelosok yang udik  ini? Hanya karena menang lomba lari? Atau karena main basketnya keren? Karena pandai badminton? Hah! Banyak atlet yang lebih bagus dari bule jadi-jadian itu kok. Lalu mengapa para guru memujinya? Kalau mau menjilat kan harusnya pada Sasuke sebagai keturunan Uchiha yang merupakan donatur terbesar.

"Berantem lagi? Astaga bocah-bocah ini," Asuma mendekati mereka. Lalu mengulurkan sekaleng jus dingin pada Naruto.

"Terimakasih, Asuma sensei," Naruto mengambilnya.

"Serius tidak ada luka?" selidik Asuma.

"Hanya ini," Naruto menunjuk sedikit robekan di bibirnya. Satu-satunya luka yang bisa ditinggalkan si teme itu di tubuh Naruto karena Naruto lengah.

"Baguslah. Kalau begitu, kamu boleh kembali ke kelasmu. Atau, ada yang ingin kamu tanyakan?" Asuma menatap Naruto. Kalau darah Kushina lebih dominan di tubuh bocah ini, pasti dia tidak akan bisa membendung rasa penasarannya.

"Banyak, sensei. Tapi, memangnya Asuma sensei mau menjawab? Saya sudah pernah bertanya pada Kakashi sensei. Dan Kakashi sensei hanya menyuruh saya untuk bertanya pada tou-san," kata Naruto seraya melirik pada si uban yang sedang asyik menekuni buku entah apa yang jelas yaoi karena covernya adalah dua orang cowok lagi ciuman. Guru satu ini memang rada-rada kok.

"Memang harusnya begitu. Itu privasi Minato-nii. Mau dijawab atau tidak, itu haknya," sahut Kakashi. "Asuma. Kalau kau mengaku temannya, jangan ikut campur," Kakashi melotot galak.

"Bocah ubanan kurangajar. Aku ini sebaya Minato, yang artinya aku lebih tua darimu ya. Kalau tidak mau memanggilku nii-san, minimal panggil senpai," Asuma mendelik.

Kakashi hanya memberi senyum meledek, dan pergi begitu saja. Bomat!

Asuma hanya bisa menggelengkan kepala. Bocah laknat. Dari dulu bocah itu memang kurangajar. Tangan Asuma jadi gatal ingin mencabuti semua ubannya.

Kiiroi SenkoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang