8. Aksara Febian Pradipta

93 7 6
                                    

Ku tatap senja
Di tepi dermaga tua
Tersirat disana
Kenangan lama berupa luka
Aku tersenyum
Senyuman yang penuh luka.
Katanya..... Luka itu akan sembuh
Seiring berjalannya waktu. (Author Na)

Happy Reading
•••

Lamborghini Aventador berwarna black and white terpakir rapi di halaman rumah megah yang di dominasi warna putih itu. Aksa yang baru saja memikirkan motor di bagasi rumah berdecak.

Dengan berat hati, Aksa melangkah masuk. Sepasang mata elang menyambutnya dengan tatapan tajam.

Aditama-papanya itu tengah duduk di atas sofa dengan kedua kaki terbuka. Sejak jam empat sore tadi pria itu sudah menunggu putranya pulang.

"Dari mana saja kamu? Menurutmu pantas anak SMA jam sepuluh malam baru pulang?!" Kekesalannya tidak dapat dibendung lagi.

Aksa hanya mengangkat bahu acuh, kemudian melanjutkan jalannya yang sempat terhenti.

"AKSARA!"

"Aksa, papa sedang bicara sama kamu!" Kata Aditama dengan sedikit berteriak.

Aksa tetap tak menggubris, lelaki itu terus berjalan melewati papanya. Menganggap seolah-olah tak ada pria itu dirumahnya.

"Anak sialan,  kamu nggak pernah diajarin sopan santun sama ibumu, hah?" Aditama berdiri dari duduknya, mendadak terpancing emosi karena Aksa.

Langkah Aksa terhenti. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, Aksa memejamkan mata, mencoba untuk menetralisir diri.

Aksa terpancing emosi ketika mendengar kata 'ibu' disebutkan. Tepat di depan anak tangga pertama, ia hanya berdiri kaku membelakangi sang ayah.

"Pulang sekolah kerjaannya keluyuran mulu. Itu didikan ibumu, hah?"

"Jangan bawa-bawa ibu saya!" bentak Aksa dengan nada tinggi. Tubuhnya berbalik, menatap Aditama nyalang.

"Saya ayah kamu. Bicara yang sopan!" tegas Aditama, pria itu mendekat ke arah Aksa.

Suasana berubah sengit dengan secepat angin.

"Ayah saya bukan seorang pembunuh seperti anda!" ujar Aksa dengan nada dingin yang langsung menusuk dalam relung hati Aditama.

"AKSARA!"

"Kenapa? Emang gitu kan kenyataannya?" tantang Aksa. Sebenarnya ia tidak suka banyak bicara. Tapi, jika Aksa tetap diam. Papanya itu akan terus menghinanya. Aditama akan terus merendahkannya.

"Dasar anak nggak tau terima kasih. Nyesel papa udah besarin anak bodoh kayak kamu. Nggak ada gunanya! Bisanya cuma malu-maluin keluarga." Aditama meluapkan semuanya.

Jauh di dalam sana, Aksa merasakan hatinya di tusuk dengan ribuan belati. Selalu seperti itu. Aksa sadar, kehadirannya tidak pernah diinginkan sebelumnya. Dalam artian lain, Aksa ada karena sebuah kesalahan yang dilakukan kedua orangtuanya diluar ikatan pernikahan.

Harusnya, yang marah, yang benci, dan yang kecewa adalah Aksa. Bukan Aditama.

Aksa mengganguk paham, "Anda pikir saya pernah meminta untuk dilahirkan dalam keluarga ini? Maaf, tuan Aditama Pradipta, saya juga tidak sudi memiliki ayah seperti anda!" kata Aksa tegas.

NARAKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang