Prolog | Luna

3K 630 279
                                    

Aku melangkah gontai keluar dari ruang konsultasi, lalu kututup pelan pintunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku melangkah gontai keluar dari ruang konsultasi, lalu kututup pelan pintunya. Di tengah lorong rumah sakit, aku mematung menatap kertas kecil di tanganku. Di sana tertulis huruf-huruf bersambung yang tidak bisa kubaca. Dokter bilang aku harus menyerahkan resep ini ke bagian farmasi, sedangkan aku masih kesulitan mencerna apa yang terjadi. Maksudku, tadi sore aku hanya datang untuk konseling, tetapi tidak menyangka akan mendapat obat sebanyak ini. Dokter bilang aku beruntung datang lebih cepat sebelum keadaan semakin parah dan obat yang harus kutelan pun akan semakin banyak.

Tunggu, dokter bilang aku beruntung? Benarkah? Aku tidak merasa demikian.

Aku pun menyerahkan resep itu ke instalasi farmasi. Terima kasih BPJS, aku tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Setengah jam kemudian, obatku selesai diracik dan aku sudah bisa pulang. Namun, seperti ada yang menahan kakiku untuk keluar gedung dan memesan ojek online. Aku tidak ingin bertemu Bunda. Aku tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi pada diriku. Aku tidak ingin Bunda khawatir.

Apa sebaiknya kurahasiakan saja dari Bunda?

Ketika memasuki lift, tanganku bergerak sendiri menekan tombol lantai paling atas di rumah sakit ini. Entahlah, aku merasa akan ada hal yang lebih menarik di sana.

Sesampainya di lantai paling atas, aku berjalan menelusuri lorong menuju rooftop. Memang sudah lama sekali aku mengetahui bahwa rumah sakit ini memiliki rooftop, karena tempat ini adalah langganan keluargaku berobat. Bahkan, aku dilahirkan di rumah sakit ini dua puluh tiga tahun yang lalu.

Sesampainya di rooftop, rupanya langit sudah menggelap, padahal aku datang sore-sore. Memangnya selama apa aku menjalani sesi konsultasi?

Ketika melangkah lebih dekat menuju dinding pembatas setinggi pinggang orang dewasa, angin sejuk malam membelai wajahku. Aku menyandarkan kedua tangan di pembatas, lalu menatap kosong Jalan Dago yang ramai lancar. Gedung perkantoran, restoran, dan hotel sudah menyalakan lampu, membantu menerangi jalanan yang gelap. Aku mengalihkan pandangan ke sisi lain, tepat di bawah rooftop. Parkiran mobil di sana kosong.

Bagaimana jika aku melompat dari rooftop? Akan sempurna jika aku mati di tempat yang sama ketika aku lahir, 'kan? Toh, kehadiranku di dunia tidak ada gunanya.

Aku berjinjit, membuat sebagian atas tubuhku condong ke depan melewati pembatas. Namun, ketika aku membayangkan tubuhku tergeletak bersimbah darah di parkiran mobil, tiba-tiba rasa takut yang hebat menjalar di tubuhku. Kedua lenganku merinding, dan buru-buru aku menegakkan tubuh kembali. Jantungku berdetak lebih cepat ketika aku menyentuh dada.

Bayangan wajah Bunda memenuhi benakku. Jika aku pergi sekarang, bagaimana dengan Bunda? Mungkin aku bisa mengenyahkan benang kusut di kepalaku, tetapi akan menambah beban pikiran untuk Bunda. Bunda sudah pernah terpuruk merasakan kehilangan dan ia akan merasakannya kembali jika aku pergi.

Aku menggeleng. Aku tidak bisa mati sekarang, meninggalkan Bunda dengan semua tagihan-tagihan itu. Hanya aku yang bisa membantu perekonomian keluargaku.

Ketika mendongak, kutatap langit malam Kota Bandung. Hanya sedikit bintang di sana karena polusi cahaya. Malam ini begitu tenang, tetapi kepalaku rasanya berisik sekali. Ketika memejamkan mata, air bening meleleh membasahi pipiku. Dadaku begitu sesak. Aku lelah. Aku hanya ingin beristirahat.

Dukung Serene Night dengan menekan bintang di pojok kiri bawah 🌟

4 Mei 2024

4 Mei 2024

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

*****

Hai! Makasih udah mampir dan kenalan sama Luna di cerita ini!

Prolognya gelap? Nyalain dong senternya. //ga

Next chapter kita ketemu sama Elio yang vibe-nya lebih heartwarming🌈☀️

Serene Night [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang