32 | Luna

72 26 0
                                    

Tidak terasa sudah satu jam aku melamun, bersandar pada headboard sambil membolak-balik halaman novel di tanganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak terasa sudah satu jam aku melamun, bersandar pada headboard sambil membolak-balik halaman novel di tanganku. Ah, kebetulan sore ini aku sudah ada janji bertemu Dokter Martha karena obatku sudah hampir habis. Mungkin berbicara dengan psikiaterku bisa membuat perasaanku menjadi lebih baik.

Kututup novel If The Moon Never Existed dan bangkit dari ranjang. Aku siap-siap untuk konseling bulanan dengan psikiaterku. Singkat cerita, kini aku sudah berada di ruang praktik, duduk berhadap-hadapan dengan wanita berambut bob itu. Dokter Martha menelengkan sedikit kepalanya, tanda bahwa ia penasaran dengan ekspresi anehku sejak tadi.

"Gimana kabar kamu hari ini, Luna?" Ya, itulah pertanyaan yang selalu menyapa telingaku sejak pertama kali duduk di ruangan ini.

Aku menunduk dan berbicara lirih sambil memainkan kuku-kuku jariku. "Saya ... enggak tahu harus cerita dari mana."

Dokter Martha memperbaiki posisi duduknya. "Oke, kita buat sederhana aja pertanyaannya. Apa yang kamu rasain sekarang?"

Kudongakkan kepala ke arahnya dan menggeleng. "Saya ... juga enggak tahu apa yang saya rasain."

Wanita itu mendesah pelan. "Ada kejadian apa yang mengganggu kamu akhir-akhir ini?"

Aku mengeluarkan novel If The Moon Never Existed dari ransel kecilku dan meletakkannya di meja praktik Dokter Martha. "Ada cowok yang saya suka. Dia ... confess lewat kutipan novel."

Wajah psikiaterku langsung cerah. "Si Partner Bisnis?"

Dengan malu-malu aku mengangguk.

Wanita itu mengambil novel tersebut dan membolak-balikkan halamannya. "Wah, bagus dong? Kamu pasti senang banget, 'kan?"

"Iya, awalnya saya senang, tapi ... akhirnya mendadak murung gitu. Saya enggak tahu apa yang saya rasain dan saya enggak tahu gimana jelasinnya. Kayak ... ada perasaan yang mengganjal di hati saya, tapi enggak tahu apa." Aku menepuk-nepuk dadaku dengan kepalan tangan kanan.

"Kenapa kamu bisa ngerasain perasaan abstrak kayak gitu? Apa yang terlintas di pikiran kamu waktu ngerasain itu?" Dokter Martha mengembalikan novel itu padaku.

"Saya depresi. Mood saya yang enggak stabil pasti nyusahin dia. Orang sakit kayak saya enggak pantas punya hubungan romantis. Terus ... emangnya ada jaminan dia bakalan terus sayang sama saya? Kalau misalnya saya berbuat kesalahan atau saya kurang sempurna, gimana kalau dia ninggalin saya?"

"Luna ...." Dokter Martha tersenyum sambil mengembuskan napas panjang, sampai-sampai kedua bahunya turun. "Siapa pun pantas dicintai. Depresi dan kecemasanmu itu bukan dirimu. Kamu ya Luna, bukan penyakitmu," katanya lembut. Teramat lembut malah, sampai-sampai membuat hatiku sedikit damai. "Jatuh cinta memang terkadang sepaket dengan patah hati, bahagia sepaket dengan kesedihan, dan semua pasangan di muka bumi ini pun mengalami."

Alisku mengernyit. "Tuh, 'kan? Apa poinnya jatuh cinta dan bahagia kalau ending-nya ngerasain sakit juga?"

"Tapi kalau kamu selalu enggan merasakan bahagia, kamu akan terus hidup dalam ketakutan, terjebak dalam lingkaran depresimu. Gimana kalau misalnya kamu berbahagia seratus kali dan bersedih lima puluh kali waktu pacaran sama cowok yang kamu suka? Bukannya itu layak dijalani karena lebih banyak bahagianya?" tanya wanita itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Serene Night [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang