21 | Luna

461 122 158
                                    

Malam ini, aku memasuki restoran dengan gaya interior tempo doeloe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Malam ini, aku memasuki restoran dengan gaya interior tempo doeloe. Furnitur berbahan kayu solid dan anyaman mendominasi. Suasananya hangat. Banyak dekorasi antik di sana, seperti potret jadul dengan filter sephia, gramofon, serta tanaman-tanaman hias. Aku mengedarkan pandangan, mencari meja yang paling panjang dan ramai. Clarissa bilang, salah satu teman angkatanku sudah booking meja yang cukup luas.

Tidak lama kemudian, aku menemukannya. Clarissa sudah duduk di salah satu kursi, mengobrol bersama teman-teman yang lain. Walaupun teman seangkatanku berjumlah seratus lima puluh orang, yang hadir sore ini hanya sekitar lima belas orang. Masih ada beberapa bangku yang kosong, sepertinya masih ada yang belum hadir.

Clarissa tanpa sengaja menangkap pandanganku. Raut wajahnya langsung cerah. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan cepat ke arahku. Tahu-tahu cewek itu sudah memelukku erat.

"Luna! Kangen banget tau enggak! Kamu tuh susah banget diajak ketemuan!" katanya antusias.

"Sori, Ris, kamu tahu sendiri aku sibuk bikin kue." Bohong, padahal untuk bangun dari ranjang saja aku harus berusaha mati-matian, apalagi bertemu orang lain. Semua karena depresi sialan ini.

Cewek itu melepas pelukanku. Kutatap sahabatku yang sudah nyaris setahun tidak kutemui. Rambut hitamnya sekarang dicat cokelat tua. Cewek itu mengenakan makeup natural, membuat cewek yang semasa kuliah selalu tampil cuek dan tomboi itu menjadi lebih cantik. Tubuhnya juga semerbak aroma floral yang segar. Pangling rasanya.

Clarissa membawaku duduk di bangku yang kosong. Lalu, aku pun memanggil pelayan untuk memesan makan malam. Sepeninggalnya si pelayan, semua orang di meja mengalihkan atensinya padaku. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa yang dulunya populer atau aktif berorganisasi. Aku cukup akrab dengan mereka meskipun tidak satu circle.

"Ini Luna, 'kan? Ya Allah, kamu langsing ya sekarang. Cantik banget!" puji Medina, cewek berjilbab hitam di hadapanku. Maksudnya 'kurus kering', 'kan?

"Eh, iya! Apa kabar, Lun?" tanya cowok di sebelahnya. Namanya Hanif. Dulu aku lumayan akrab dengannya.

Aku cukup overwhelmed karena semua orang menanyakan kabarku, tetapi juga senang secara bersamaan. Kujawab satu per satu pertanyaan mereka. Setelah itu, semua orang mengobrolkan hal lain dan aku turut serta mendengarkan. Rasanya hangat, aku jadi bernostalgia masa-masa kuliah dulu, di mana ketika kami sibuk mengurusi tugas kelompok atau sama-sama berjuang menyelesaikan skripsi.

Tiba-tiba, seorang cowok gondrong mendatangi meja kami sambil terengah-engah. Terlihat jelas bahwa ia baru saja berlari ke sini. Namanya Faisal. Dulu, ia adalah ketua himpunan kami.

"Si Isal geus datang (udah datang)!" seru Hanif. "Long weekend gini malah kerja maneh (kamu) mah!" ledek cowok itu.

"Hampura (maaf) atuh. Harusnya hari ini cuti bersama tapi cutinya enggak urang (aku) ambil. Udah kebanyakan cuti kemaren-kemaren." Dan Faisal pun curhat. Ia duduk di bangku yang kosong.

Serene Night [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang