25 | Luna

434 118 124
                                    

Sebagai anak tunggal, aku tidak pernah punya seseorang untuk diajak bermain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebagai anak tunggal, aku tidak pernah punya seseorang untuk diajak bermain. Orang lain biasa menceritakan segala hal dengan saudara-saudaranya, tetapi tempatku berbagi keluh kesah hanyalah Ayah. Bagaimana hariku di sekolah bersama teman-teman, bagaimana sulitnya mengejar pelajaran di sekolah, bagaimana cerita dari kartun favorit yang ada di televisi, semuanya kuceritakan pada Ayah.

Bisa dibilang, Ayah adalah sahabatku.

Waktu salah satu temanku menginjak usia delapan tahun, aku mendatangi pesta ulang tahunnya. Acara itu begitu mewah dan kue ulang tahunnya matcha cheesecake, besar pula, panjang dan lebarnya sekitar setengah meter! Setelah dewasa dan berkecimpung di bisnis kuliner, aku jauh lebih kagum lagi karena baru tahu berapa kisaran harganya. Tidak murah, tentu saja.

Aku menceritakan segalanya pada Ayah tentang hari itu. Game-game seru, badut-badut lucu, dekorasi balon warna-warni, serta betapa enaknya kue ulang tahun temanku itu. Aku mencicipi matcha cheesecake untuk yang pertama kali di sana dan langsung jatuh cinta. Sebenarnya, aku tidak berharap untuk dibelikan. Bunda juga pernah mencoba membuatnya, tetapi rasanya tidak seenak itu. Keahlian baking kami memang bukan di kue-kue seperti cheesecake, melainkan lebih ke kue-kue basah dan pastry.

Ketika berusia sembilan tahun, tiba-tiba saja Ayah membelikanku matcha cheesecake meskipun tidak sampai setengah meter, dan hal itu terus berulang setiap tahun. Sejak saat itulah matcha cheesecake menjadi kue yang wajib ada di setiap ulang tahunku. Aku tidak terlalu ingat bagaimana rasa cheesecake di ulang tahun temanku. Tentu saja enak, tetapi bagiku saat itu, cheesecake yang dibeli Ayah masih jauh lebih enak.

Dulu, aku juga pernah membuat perjanjian dengan Ayah. Jika ranking-ku di akhir semester mencapai tiga besar, Ayah akan membelikanku roller blade yang amat kuinginkan. Namun, sayangnya saat itu aku hanya mampu meraih ranking lima di kelas. Meskipun begitu, Ayah tetap membelikannya.

"Ini hadiah dari Ayah karena Luna udah berusaha keras meskipun belum mencapai target. Enggak apa-apa, kita coba lagi semester depan, ya." Ayah berkata dengan senyum sehangat mentari pagi.

Aku yang saat itu masih berusia sepuluh tahun tentu amat bahagia. Liburan akhir semester menjadi hal yang kutunggu-tunggu karena bisa seharian berlatih roller blade dengan Ayah. Kami berlatih di jalanan dekat rumah yang aspalnya bagus. Pertama, Ayah mengajariku pelan-pelan sambil menuntun kedua tanganku dari depan.

Percobaan selanjutnya, aku harus mencoba roller blade-nya sendirian. Lima meter pertama aku bisa meluncur dengan lancar. Namun, setelahnya aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Ayah terkejut. Ia pun berlari kecil menghampiriku dan membantuku untuk bangun.

"Kamu enggak apa-apa, Sayang?" tanyanya khawatir.

Aku mengangguk pelan, sedikit meringis. Kemudian kusingkirkan debu dan kerikil di kedua tanganku. "Enggak apa-apa, Yah, tapi lututku sakit ...."

Serene Night [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang