8 | Luna

822 281 170
                                    

Semua hari yang kujalani tampak sama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semua hari yang kujalani tampak sama. Aku selalu menghabiskan sebagian besar waktuku untuk berbaring di ranjang, entah sambil menggulir media sosial, mengobrol bersama Clarissa lewat WhatsApp, atau mendengarkan musik dan berakhir tertidur. Aku tidak tahu sekarang hari apa dan tanggal berapa. Kini, kamarku mendapat sedikit pencahayaan dari luar karena tadi pagi Bunda membuka tirai jendela.

Setidaknya hari ini aku tidak terlalu menyedihkan.

Clarissa yang sekarang bekerja di Karawang pulang ke Bandung akhir pekan ini. Ia mengajakku bertemu di salah satu kafe yang baru saja buka. Aku tidak langsung mengiyakan. Kubilang aku akan mengabarinya sehari sebelum hari pertemuan. Iya atau tidaknya jawabanku, itu tergantung suasana hatiku nanti.

Jika ingin bertemu seseorang, tentu aku membutuhkan uang. Maka, kuputuskan untuk berhenti menggulir media sosial, lalu bangun dari ranjang dan menyalakan laptop. Kubuka LinkedIn untuk mencari-cari lowongan pekerjaan. Namun, salah satu notifikasi mendistraksiku. Setelah kucek, rupanya Clarissa baru saja mendapat promosi dari kantornya.

Ah, sahabatku yang satu itu memang brilian. Sebelum wisuda, ia sudah mendapat pekerjaan tetap. Kebetulan sekali kantor tempatnya bekerja jauh dari kata toksik. Clarissa sering bercerita kalau atasan dan koleganya sangat suportif. Ia juga selalu mendapat insentif saat lembur dan pulang tepat waktu dari kantor.

Aku iri sekali. Kira-kira kapan aku bisa bekerja di kantor yang culture-nya menyenangkan seperti kantornya Clarissa? Tidak, kuulangi pertanyaannya. Kira-kira kapan aku bisa bekerja?

Aku mengecek semua riwayat pekerjaan yang kulamar. Sudah bisa ditebak, tidak ada notifikasi undangan wawancara. Sebagian besar ditolak, sebagian lagi statusnya masih saja di-review HR, padahal sudah lebih dari sebulan. Ada gumpalan emosi yang membakar dadaku. Sedih, marah, iri, kecewa, cemas, semua bercampur menjadi satu. Kukepalkan tangan kuat-kuat sampai kuku-kukunya menancap kulit. Sakit, tetapi lega. Aku harus melakukannya. Aku harus menghukum diri atas ketidakbecusanku.

Kusugar rambut panjangku. Sambil mengembuskan napas berat, aku beralih mengecek ponsel. Ada WhatsApp dari Clarissa.

Clarissa Ayudisha
[Sent a picture]
Tadi bosku beliin piza karena KPI timku tercapai
Seneng bangettt!

Ngapain sih pakai laporan segala? Enggak ada yang peduli! Saking emosinya, ingin sekali meneriaki kata-kata tersebut di depan wajah Clarissa. Kutinggalkan ruang obrolan tanpa membalas pesannya, lalu jempolku refleks membuka Instagram. Namun, melihat orang lain tersenyum ketika membagikan momen bahagia di Story membuat amarahku semakin menggila. Semuanya punya pekerjaan, keluarganya bahagia, bisa liburan dan makan enak pula tiap hari, pasti uangnya banyak.

Iya, hanya aku saja yang tidak bahagia di sini!

Aku memejamkan mata, meletakkan ponselku di atas meja belajar dan menarik napas dalam-dalam. Jantungku berdegup cepat dan dadaku terasa sesak, seluruh otot di tubuhku menegang. Aku ingin membanting laptop dan berteriak. Namun, tentu saja tidak kulakukan karena aku tahu sebesar apa biaya perbaikannya.

Serene Night [ONGOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang