Maaf ya, kalo masih banyak kurangnya this is manusia biasa 🙏😭
OYAAA JANGAN LUPA VOTE, KOMEN, DAN FOLLOW AKU YA GAYSSSSS MUAH SAYG KALIANNN
.
.
.HAPPY READING
Jam 08.54 Kafka baru saja tiba dirumahnya, rumah yang cukup besar, elegan, sunyi, dan sepi, hanya suasana itu saja yang Kafka selalu rasakan ketika pulang. Kafka selalu berkhayal, bagaimana manisnya ia di sambut oleh sang ibu yang sedang menunggunya pulang sekolah, di peluk penuh cinta dan kasih sayang, namun semua itu hanya sebatas angan. sudah lima tahun Kafka hidup dalam kesendirian ini
Lima tahun, Kafka menjadi bocah hilang yang tak tentu arah, mencari di mana arti kata rumah yang sebenarnya, dulu dia selalu ingin ayah dan ibunya pergi meninggalkannya di rumah sendiri, agar dirinya bisa bermain game sepuasnya. Tapi bukan pergi, bekerja dan tidak pernah pulang, ralat. Mereka pulang setiap satu tahun sekali, itupun hanya beberapa hari
"Hhh! Balik lagi ke rumah, yang isinya cuma gue seorang" Kafka sudah memasuki kamarnya, dan menidurkan tubuhnya ke kasur
"Kangan ibu, ibu lagi apa ya? Pengen telpon, tapi takut ibu lagi istirahat." Kafka menatap langit-langit kamarnya, beradu argumen dengan hati dan pikirannya, entah akan jadi seperti apa kehidupannya ini tanpa dampingan ibu dan ayahnya
Andaikan saja di dunia ini tidak ada uang, pasti ibu dan ayahnya tidak segila bekerja ini, Kafka hanya ingin. Tumbuh di dampingi orang tuanya apakah tidak bisa bekerja di kota ini saja? Kenapa harus sejauh ini?
"Laper" gumamnya, tadi papah galih mengajak kafka untuk makan malam bersama dulu sebelum pulang, tapi Kafka menolak, karna alasan ada urusan mendadak. Sebenarnya tidak ada urusan apapun, cuma Kafka tidak enak terus menerus mengusahakan papah Galih
Kafka memutusan, untuk mandi terkebih dahulu dan setelah itu baru ia memasak mie instan untuk di makan.
Tak butuh waktu lama kafka selesai dengan urusan membersihkan diri, dan turun dari kamarnya menuju dapur dengan ponsel yang setia di tatap oleh Kafka, entah apa yang sedang ia lihat
"Masak mie lagi, gak bikin gue mati juga kan?" Monolognya menatap mie yang sedang ia pegang, sepersekian detik setelahnya ia mengangguk lalu tersenyum acuh
Kafka berdiri dihadapan kompor yang sedang memanaskan air, matanya menatap kosong, kembali berlarut dalam pikirannya, semakin lama semakin hanyut, tidak ada yang lebih lelah dari terbawa arus oleh pikiran sendiri
Ia berniat membuang air rebusan yang tadi, ia gunakan merebus mie, tangan kanan kafka memegang, penganan panci tersebut, berjalan ke arah wastafel dan
Tak!
Brak!
Gagang panci tersebut patah, mungkin karna sudah cukup tua, tapi bodohnya bukan menghindari dari siraman air panas tersebut kafka malah menepisnya dengan tangan kiri, jadi kanan kena air panas, kiri kena panci panas hadehh bago
"Kamu gak papa?" Tanya seseorang yang tiba-tiba saja datang dari arah belakangnya, aduh siapa coba? Kafka kan sendirian di rumah jangan jangan.... Hantu?!
Kafka langsung reflek menoleh ke arah sumber suara, melihat dari atas sampai bawah, kakinya gak napak! Enggak deng canda, dia manusia. "Maaf siapa? Kenapa bisa masuk rumah gue?" Ucap Kafka yang masih setia menegang tangan kanannya, panas dan perih rasanya woi!
"Maaf, saya lancang masuk, dari tadi saya sudah membunyikan bel rumah. Tapi gak ada yang keluar, trus saya denger suara barang jatuh, takut terjadi sesuatu di dalam jadi saya masuk, dan bener aja, kamu ketumpahan air panas" Kafka menatap intimidasi kepada orang di hadapannya ini, kafka mengira-ngira sepertinya umur pria ini 28-30 an terlihat dari wajahnya yang masih fresh
"Sini, saya obati luka kamu, agar tidak infeksi" Kafka menurut saja dan mengekori pria itu sampai ruang tamu "dimana kotak p3k-nya?"
"Di Laci meja TV" jawab Kafka dan mendudukkan bokongnya di sofa, menatap pria yang masih asing baginya, mengapa setiap Kafka butuh orangtuanya selalu ada irang yang datang menemaninya, mengapa tidak orangtuanya saja yang datang? Sementara pria itu setelah mendapat barang-barang yang ia butuhkan pria tersebut ikut duduk disebelah Kafka
Ia, mengobati luka kafka dengan telaten bahkan sesekali ia meniup luka kafka agar tidak terasa perih ketika dibaluri salep "Jangan terlaku sering mengonsumsi mie instan, gak baik buat kesehatan, ibu kamu pasti masakkan, jangan buang-buang makanan"
"Ibu, gak dirumah, gue sendiri di rumah ini" jawab Kafka terdengar angkuh, ya iya lah anjir sok tau banget nih orang, apa katanya buang-buang makanan? Hei kafka sudah lama tidak merasakan masakan ibunya
"E-eh, maaf gak tau, yaudah masak sendiri pasti bisa kan udah gede juga, mie instan bukan jalan ninja"
"Siapa yang bilang mie instan jalan ninja? Mie instan tuh makan, bukan jalan" pria itu terkekeh kecil mendengarnya, dikira ngelawak kali
"Oh iya, kenalin, saya Abisma. Saya tetangga baru kamu" ucapnya setelah selesai merapikan kotak P3k
Kafka mengangguk kecil sebagai jawaban, dua terus memandangi tangannya yang terbalut perban dengan rapih "Om dokter, ya?"
"Kok, kamu bisa tau?" Tanya Abisma mengerutkan keningnya, kan dia tidak memperkenalkan pekerjaannya dari mana bocah ini tau? Apakah dia penguntit?
Kafka menunjukan tangannya yang di perban
"Ini lebih, dari cukup ngejelasin kalo om itu, dokter."Abisma menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, benar juga, kenapa ia sangat lemot, "oh iya, nama kamu?"
"Nama gue, kafka"
"Nama yang bagus, yasudah saya pamit dulu, senang menjadi tetangga kamu Kafka--
--eh, kamu belum makan kan? Ikut saya, makan diluar aja, sekalian temenin saya. Gak tau daerah sini soalnya, tenang saya traktir."
Kafka berfikir sejenak, emm kalo gak ikut dia akan mati kelaparan, tangannya juga masih sakit, tidak bisa memasak mie instan lagi, dan lagi pula gratis kiw kiw, kafka mengangguk tanda ia setuju
Lumayan tidak mengeluarkan uang hari ini, bisa untuk membeli yang lain, hm. Sebenarnya uang dari ayah dan ibunya sudah sangat cukup untuk dirinya sendiri, tapi kembali lagi Kafka ingin mereka kembali, ke rumah ini. Tidak apa jika harus hidup sederhana, tidak harus tinggal di rumah sebesar ini. Yang dihuni oleh dirinya sendiri,
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir [On Going]
Teen FictionMemiliki keluarga yang utuh, adalah impian semua anak. Namun, apakah setiap yang utuh akan selalu teguh? Keluargaku memang utuh. Namun, sudah runtuh. Lantas mengapa aku harus ada di bumi ini? Jika hanya untuk, melihat kehancuran diri sendiri *SEGERA...