Kangen sama aku gak? It's okey fine. Vote gaysss komen juga yaaaaaaa komen mu semangat ku, menyala abangku
.
.
.HAPPY READING
Hari Minggu adalah, hari yang paling banyak dinanti seluruh siswa, tapi Kafka merasa hari Minggu adalah hari paling sunyi dan membosankan, dia hanya rebahan di kasur sambil bermain video game, sungguh membosankan.
Kafka meletakkan ponselnya sembarang, dia menatap langit-langit kamarnya yang polos. Detik detik berganti begitu cepat, tapi ketika detik berikutnya Kafka terlintas ide untuk melukis di taman kompleknya saja, agar tidak terlalu bosan.
Kafka mengambil alat-alat lukis didekat meja belajarnya, setelah alatnya dirasa sudah lengkap, Kafka melangkahkan kakinya keluar rumah, menikmati angin siang menjelang sore yang menerpa wajahnya, nikmat. Kafka melihat ke sekeliling taman mencari tempat yang strategis untuknya melukis, lama mengamati, akhirnya dia memutuskan untuk duduk di bangku dekat danau yang terpayungi pohon yang sangat rindang
Dia menatap kanvas berukuran sedang dihadapannya, memulai memikirkan apa yang akan dia lukis, hm sepertinya dia akan menggambar sebuah rumah dengan abstrak saja siapa tau keren mwehehehe
Cat berwarna mulai menyentuh kanvas, tangan Kafka, lihai dan cekatan, bahkan kuas yang digunakan Kafka terlihat seperti menari-nari di atas kanvas. Melukis adalah hal yang paling Kafka suka setelah voli tentunya, menurutnya melukis adalah cara paling tepat untuk menggambarkan bagaimana perasaannya, sudah banyak sekali lukisan yang Kafka buat, bahkan ia menjadikan salah satu kamar dirumahnya seperti museum pribadi yang di hiasi oleh karya-karya dirinya
Puk....
Kafka tersentak kaget, sedang enak-enak melukis juga. Merasakan ada yang menepuk punggung sebelah kanannya Kafka menoleh sedikit kesal, untung saja lukisannya tidak tercoret
"Bagus juga lukisan kamu, Kafka." Ujar om Abisma lalu duduk di sebelah Kafka sambil menatap menerawang jauh kedepan
"Om ngapain disini!?" Tanya Kafka sedikit kesal, jujur saja Kafka sedikit risih dengan kehadiran Om Abisma ditengah-tengah kehidupannya, bukan tanpa sebab. Kafka hanya berfikir, om Abisma terlalu sok tau tentang hidupnya, siapa yang ga risih coba?
"Ini tempat umum bocah! Saya juga butuh refreshing" ucap om Abisma sarkas
"Ya kenapa harus disini? Emang gak ada tempat lain?!"
"Ada, cuma saya udah pw disini"
Waktu berjalan dengan Kafka dan om Abisma yang entah sadar atau tidak berbagi cerita-cerita kehidupan mereka, cerita yang di dengar om Abisma membuat dia sedikit memahami karakter asli dari Kafka dan Kafka juga, memahami betul kehidupan om Abisma
"Istri dan anak saya, meninggal enam bulan yang lalu, istri saya berjuang untuk melahirkan anak saya, tapi karna saya terlambat membawanya ke rumah sakit untuk bersalin jadi, saya kehilangan mereka berdua" ujar om Abisma dengan senyum pahit yang ia tunjukkan
"Memang kenapa, sampai terlambat dibawa ke rumah bersalin?" Tanya Kafka dengan hati-hati takut melukai perasaan om Abisma
"Karna pekerjaan saya, sebagai dokter. Saat itu saya sedang menjalan kan tugas untuk mengoprasi pasien yang membutuhkan transplantasi ginjal, dan alasan saya pindah ke sini juga karna saya tidak mau, terus menerus tenggelam dalam kesedihan, saya mau memulai kehidupan baru, meski tanpa istri dan anak saya"
"Hm, terus kenapa orang tua kamu milih kerja jauh kaf?" Abisma menatap Kafka lekat, memperhatikan setiap inci wajah Kafka.
"Semenjak perusahaan ayah bangkrut, ibu sama ayah sering bertengkar, entah itu masalah ekonomi, kafka, atau pekerjaan. Mungkin karna ibu udah capek hidup pas-pasan, ibu mutusin buat kerja di perusahaan temen ibu, di Singapore." Ujar Kafka terdengar begitu menyedihkan ditelinga Abisma, ternyata ada yang lebih membutuhkan pendamping di hidupnya, memaksakan semua sendiri dan nyatanya tidak bisa
Masih, membutuhkan sosok ibu disampingnya. Masih ingin ditemani kala dia berproses, semua bukan hanya tentang materi. Sedih rasanya melihat anak seusia kita masih bisa merasakan kehangatan orang tua, sementara kita?
"Dan, semenjak ibu pergi ke Singapore, ayah jadi sosok yang emosional, bahkan sering main tangan. Tapi, semuanya gak lama, sampe ayah mutusin ninggalin Kafka juga. Dan milih kerja jauh dari Kafka, sebenernya banyak yang rekrut ayah kerja disini, tapi ayah gengsi kerja di perusahaan kecil." Ucapnya sambil menatap kosong jauh ke depan, dia tidak membenci siapapun disini, dia juga tidak boleh egois. Rasa rindu yang semakin menyeruak di lubuk hatinya tak tertahankan.
Apakah ayah dan ibunya juga merasakan kerinduan seperti dirinya? Apakah bisa dia menyatukan keluarganya? Sungguh ia lelah dengan pikirannya selalu beradu argumen
"Kafka, kangen ibu sama ayah. Kafka pengen keluarga Kafka bisa kaya dulu, sekarang buat duduk bareng di meja makan aja susah om. Ibu sama ayah kalo jenguk Kafka selalu diwaktu beda, itu juga gak lama cuma 2 sampai 3 hari"Abisma merangkul pundak Kafka, sesekali mengusapnya lembut, "Kafka, di dunia ini gak ada yang gak mungkin, kalo kamu mau berusaha. Om yakin, Kafka pasti mau banget keluarga Kafka balik kaya dulu, maka dari itu Kafka harus berusaha. Kafka udah utarain perasaan Kafka sama kedua orang tua Kafka? Kalau belum, coba diutarakan siapa tau orang tua kamu bisa sedikit mengerti."
Kafka tau, Kafka juga mau, tapi? Orangtuanya terlalu sibuk jika hanya untuk membicarakan hal yang tidak penting, Kafka terlalu takut mengutarakannya "mereka terlalu sibuk om, gak ada waktu buat dengerin yang gak penting"
"Gak penting segi mana kaf? Kamu berhak speak up, bukan cuma orang tua yang boleh mengeluh! Kamu juga berhak mengeluh, tentang dunia yang terlalu kasar ataupun hidup kamu yang terlalu berat. Gak ada orang di dunia ini, yang gak punya beban hidup, dengarkan ya? Coba memulai komunikasi yang baik dulu dengan orangtuamu oke?" Kafka mengangguk pelan, entahlah dia bingung dan takut, apakah orangtuanya mau mendengarkan dirinya? Mungkin Kafka akan mencoba nanti?
.
.
.Haloww bre bre kuuuuuuuuuu, gimana chap ini?????? Ehhhh tau gakkkkk aku, ketemu cogannnn tapi sudah beristri BWAHAHAHAHHAA
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Takdir [On Going]
Novela JuvenilMemiliki keluarga yang utuh, adalah impian semua anak. Namun, apakah setiap yang utuh akan selalu teguh? Keluargaku memang utuh. Namun, sudah runtuh. Lantas mengapa aku harus ada di bumi ini? Jika hanya untuk, melihat kehancuran diri sendiri *SEGERA...