Algara Pramudya Zionara

18 10 1
                                    

Kediaman Zionara 09.55 PM.

Prang!

"Kak Gara! Pecah kan gelas nya." Hanna berkacak pinggang sambil terus mendumal.

Algara Pramudya Zionara, putra sulung dari Zionara Cassiano dan Hanna Moratna. Algara tahun ini genap berusia 25 tahun akan tetapi ia belum berniat untuk menikah walaupun calon nya belum ada, Algara masih betah menjomblo ia belum minat untuk memilih wanita yang akan mendampinginya. Ya walaupun ia sudah pernah berpacaran akan tetapi hubungan nya itu selalu kandas disetiap bulan ke delapan, entah itu kutukan atau bukan akan tetapi ia tidak sakit hati justru itu menjadikan nya dorongan untuk menjadi seorang laki-laki yang mapan dan jauh lebih mandiri hingga bisa sesukses saat ini.

Algara kerap di sapa dengan sebutan Gara oleh teman-teman nya, karena sebutan itu jauh lebih mudah dan enak di dengar dibandingkan dengan penyebutan Algara. Walaupun sudah berusia 25 tahun, tubuh Gara tetap sehat dan bugar bahkan ia memiliki tubuh yang atletis sama seperti ayahnya. Ia memiliki rambut hitam pekat akan tetapi senantiasa terlihat acak-acakan, walaupun begitu ia tetap terlihat tampan dengan hidung mancung, bola mata coklat, alis sedikit tebal, dan jika Gara sedang mood untuk merapikan rambut nya, maka model rambut yang akan Gara pilih adalah model front puff yang sesuai dengan bentuk wajah Gara yaitu thin oblong, tingginya pun hampir sama dengan ayah nya yakni sekitar 182 cm.

Kelemahan Gara adalah adik perempuan dan rambut, kenapa bisa? karena dulu Gara sempat mengalami hal yang buruk pada adik perempuannya, maka dari itu saat adik perempuannya sudah mulai beranjak dewasa Gara jauh lebih protektif pada adik perempuannya itu. Sedangkan rambut, ia trauma pada mama nya yang hampir meninggal hanya karena memotong rambut di sebuah salon, sementara hal yang paling Gara suka adalah merakit dan membuat sesuatu yang unik serta terkesan aneh sekaligus mengerikan. Walaupun begitu ia tidak pernah menyalah gunakan hasil buatan nya itu, justru ia menjadikan nya sebagai barang koleksi.

"Hehe... Maaf ma, habisnya Gara khawatir sama Fiona. Udah jam segini tapi dia belum pulang juga" Hanna sepontan melirik jam yang tertempel di dinding.

"Kamu benar Kak, ini hampir jam sepuluh malam," Hanna mulai membersihkan pecahan beling. "Coba kamu telefon Andina, kamu punya nomer nya kan?"

Gara mengangguk. "Punya ma. Gara bantu!" Hanna menahan gerakan putra nya itu.

Hanna menatap Gara dengan tatapan teduh sambil tersenyum. "Mama yakin saat ini kamu sangat khawatir pada adik mu, lebih baik kamu cepat hubungi Andina atau siapa pun!"

Gara mengalihkan tatapan mata nya kebawa melihat pecahan beling dari gelas yang ia tidak sengaja jatuhkan.

"Sudah, dari pada kamu khawatir setengah mati, lebih baik kamu cepat hubungi teman nya itu. Sementara Ayah dan Farhan sedang mencari di sekitar perumahan ini" Gara menghela nafas panjang lalu ia beranjak berdiri melenggang pergi menuju kamar nya.

"Baik ma!" ucap Gara pelan namun masih terdengar di telinga Hanna.

Pintu di tutup perlahan oleh Gara, dengan segera Gara menyambar ponselnya belum sempat untuk menghubungi Andina, ia sudah mendapati sebuah pesan dari orang yang sangat ia kenal.

Dua puluh pesan masuk
Lima panggilan suara tidak terjawab

"Tumben nih anak chat gue" Gara mengklik pesan dari teman kenalannya tiga tahun lalu itu.

Arlo Mackenzie__
Gue izin bawa adik perempuan lo ke rumah gue, lo tenang aja gue gabakal lakuin hal-hal aneh ke adik lo.

Deru nafas Gara mulai tak teratur, rahang nya menegas, tangan kirinya mengepal kuat sesaat setelah selesai membaca seluruh pesan itu.

Bug!

"Kurang ajar lo Arlo!" Satu pukulan mendarat di dinding tembok.

Gara bergegas mengambil jaket dan kunci motornya, ia membuka kasar pintu kamar nya lantas menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.

"Mau kemana kak?!" pekik Hanna sambil menggendong Nafeeza.

"Gara keluar sebentar ma!" Gara membanting pintu membuat Hanna sedikit terkejut melihatnya, bahkan sampai Nafeeza terbangun.

"Hus! Hus! Hus! Gapapa sayang gapapa, itu cuman kakak kamu!" Hanna berusaha menenangkan putri bungsunya itu sambil terus menatap pintu yang dibanting oleh Gara.

***

Arsen tertunduk saat seorang pria di sebelahnya itu sedang bercerita pada dirinya. Pria paruh baya itu nampak asik bercerita dengan Arsen, sesekali Arsen menanggapinya namun Arsen lebih banyak diam tertunduk mencerna semua cerita dari pria paruh baya itu.

"Jadi, tujuan bapak datang kemari bukan untuk menjenguk Deka?" tanya Arsen langsung pada intinya.

Pria paruh baya itu mengangguk. "Aku kesini ingin menemui mu, aku mendapatkan amanah dari ayah mu untuk menyampaikan surat ini."

Arsen menerima surat itu dan langsung membukanya. "Kenapa ayah tidak memberikan nya langsung pada ku?"

"Ayah mu tengah sibuk, banyak pekerjaan yang harus dikerjakan!" Arsen mengangguk-angguk paham.

"Lagi pula nampak nya pertumbuhan mu semakin hari semakin cepat ya!" Arsen tidak menoleh fokus membaca surat dari ayahnya.

"Entahlah banyak orang yang bilang seperti itu pada ku!" Pria paruh baya itu melihat luka di lengan Arsen.

"Jadi, kamu sudah tau mereka mengincar Deka?" Arsen telah selesai membaca surat itu, ia refleks memegang luka di lengan kanan nya.

"Iya, aku sudah tau itu. Lagi pula... mereka bukan hanya mengincar Deka, sepertinya mereka mengincar orang lain juga" Pria paruh baya itu menghela nafas pendek.

Arsen mengintip dari jendela agar mengetahui kondisi teman nya itu, karena ia belum di perbolehkan masuk. Sementara pria paruh baya itu dengan se-enaknya menarik lengan kiri Arsen dan ia menelisik telapak tangan.

"Dari luka sabetan ini, sepertinya aku kenal organisasi mereka!" Arsen terlonjak mendengar penuturan itu.

"Benarkah?!"

Pria paruh baya itu mengangguk mantap. "Biar ku tebak, mereka selalu menggunakan penutup wajah untuk menyembunyikan setengah wajah nya kan!"

"Ta–tapi, dari mana bapak tau akan hal itu?" tanya Arsen sedikit penasaran.

Pria paruh baya itu terkekeh pelan. "Karena aku, pernah di tugaskan untuk membongkar markas organisasi mereka!"

Kedua bola mata Arsen membulat mendengar nya. "Benarkah? Ta–tapi kenapa organisasi itu masih ada?"

"Karena aku dan tim ku gagal meringkus mereka semua, dan..."

"Dan apa? Jangan setengah-setengah dong pak!" Arsen semakin penasaran ia terus memperhatikan pria paruh baya itu.

Pria paruh baya itu menghela nafas pendek. "Anggota tim ku tewas di bom disebuah rumah tua, hanya aku dan satu orang anggota tim ku yang selamat"


*TO BE CONTINUE....

Love is CriminalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang