Digrebek Warga

35 3 0
                                    

Di dalam sebuah rumah, namanya rumahnya rizkiyana terlihat dua orang sedang kebingungan.

"Bagaimana ini." Keduanya tidak ada yang tau apa yang akan mereka lakukan.

Sedangkan di luar semakin ricuh.

"Mbak rizki, tolong buka pintunya." Suara dari luar semakin menggetarkan kedua orang di dalam, dengan terpaksa ofi membuka pintu rumahnya dan terlihat di luar sudah ada banyak orang terlihat bersemangat.

"Mbak rizki, kampung kita tidak menoleransi tindakan anda, ini sudah malam tapi anda masih berduaan dengan laki-laki." Salah seorang  berbicara mewakili rombongan.

"Betul betul betul."

"Tidak, kami tidak melakukan apapun pak, tolong percayalah, dia hanya mengantar saya pulang." Ucap ofi yang tidak dipercaya oleh warga, ofi yang melihat para warga terlihat memabara sambil membentaknya hanya membuat ofi gemetar ketakutan.

"Mereka mengotori kampung kita, lebih baik arak mereka keliling kampung biar menjadi contoh buruk bagi orang lain."

"Betul tu betul."

Suara di luar semakin riuh.

"Tunggu dulu pak bu, ini salah paham, kami tidak melakukan apapun, kami pikir orang tua bu ofi ada di rumah." Bagas menggantikan ofi yang tidak bisa berkata.

Ofi merasa bersalah karena tidak mengetahui ketiadaan orang tua di dalam tapi tetap membawa muridnya, apalagi mood orang PMS memang sedang memburuk.

"Alasan, pasti kalian mencari kesempatan ketika tidak ada orang tua."

Ofi dan bagas terus mencoba membela namun ucapan mereka tidak dipercaya warga, sehingga membuat ofi semakin terpukul, tidak tau apalagi yang harus mereka katakan.

Orang kampung masih tetap kekeh memaksa keduanya, mereka sulit negosiasi sampai datanglah kedua orang tua ofi.

"Ada apa ini pak bu, kenapa ramai sekali didepan rumah saya." Bu ayunda mamanya ofi datang berbicara.

"Itu bu ayu, putri anda berbuat tidak pantas di kampung kita, ini tidak bisa dibiarkan, mereka harus  di arak keliling kampung." Pak RT mewakili semuanya.

"Betul itu betul."

"Astaghfirullah, tidak munkin putri saya seperti itu, ofi, kamu tidak melakukanya kan nduk." mama ayu menoleh ke ofi, namun ofi yang ketakutan tidak bisa berbuat apapun.

"Lihat, dia mengakuinya."

"Tunggu pak, ini bisa dibicarakan secara kekeluargaan, tolong pak." Mama ayu mencoba membela putrinya.

"Bisa, kalau begitu kita nikahkan mereka saja, itu untuk kebaikan mereka juga."

Mama ayu terus mencoba negosiasi, namun skil negosiasi dari seorang ibu-ibu tidak mempan ketika dikeroyok warga kampung, mama ayu hanya bisa negosiasi dengan pedagang pasar.

Akhirnya dipanggilah orang tua bagas, yang datang cuma mamanya bagas.

"Assalamu'alaikum, ada apa ini, kenapa saya dipanggil kesini." Ucap mama bagas terkaget melihat putranya berada di tengah kerumunan.

"Wa'alaikumsalam, eh bu ami, jadi dia putramu." Ucap mama ayu melihat ibunya bagas .

"Oh kalian saling kenal, ini lebih mudah." Pak RT mengambil alih diskusi.

Akhirnya mereka mendiskusikan secara kekelurgaan, warga kampung telah bubar, dan di rumah hanya tersisa kedua keluarga ditambah perwakilan dari warga, namun yang pasti sebelum warga bubar mereka menuntut untuk menikahkan keduanya atau diarak keliling.

"Ma, tapi kami tidak melakukan apapun, aku hanya mengantar guruku pulang terus sholat sebenter." Ucap bagas yang terlihat panik.

Bagas yang masih SMA merasa berat untuk hanya membayangkan harus menanggung beban sebagai kepala keluarga, apalagi pihak lain adalah gurunya sendiri.

"Iya ma, aku pikir kalian ada di rumah." Ofi mulai bisa berbicara.

Ofi terlihat sangat terpuruk, tidak pernah terpikir  olehnya harus mendadak menikah dengan orang yang tidak ia cintai, apa jadinya kehidupanya ketika harus menjadi seorang istri dari muridnya sendiri.

"Iya kami percaya kalian tidak melakukan apapun, tapi kita bisa apa didepan warga." Ucap mama ayu lembut.

"Iya, masih mending warga memberi kita persiapan, jadi mumpung besok hari minggu kita bisa melakukan persiapan, lagian aku tidak keberatan besanan dengan sehabatku." Bu ami sepakat dengan mama ayu.

"Iya benar." Angguk mama ayu.

"Jadi kalian bersahabat."

Malam itu kedua keluarga melakukan banyak diskusi di ikuti pihak perwakilan dari warga, hingga mereka bersepakat untuk menikahkan mereka dua hari lagi di hari senin malam, hari minggu digunakan untuk persiapan.

Setelah tidak ada lagi peluang untuk negosiasi ofi hanya bisa menangis dan pasrah dengan keadaan yang ada.

Bagas hanya bisa diam merenung, ia juga merasa kasihan ketika melihat gurunya yang terpuruk, namun apa daya kedua pihak keluarga telah sepakat.

Malam semakin larut, setelah sholat asar bagas bersama ibunya pulang dengan wajah tertunduk, tidak untuk bu ami.

.

.

.

Bersambung....

Muridku Adalah ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang