"Lo selalu senang akan kejutan, Jisung."
"Pasti dong."
Jisung tersenyum penuh kemenangan begitu Haechan terlihat menundukkan kepalanya, namun sedetik kemudian, wajah Haechan menatap datar Jisung.
Senyum kemudian timbul di wajah Haechan. Senyum yang lebar.
"Ngapain lo senyum? Lo gak takut?" tanya Jisung mendecih.
"Gue emang takut sama hantu, Sung. Tapi gue gak pernah takut sama manusia."
"Apa maksud─"
TASHHH!!!!
JLEBB!!!!
"AKH!!!!!"
Haechan dengan santai melempar panah yang ia sembunyikan dibalik kemejanya dan tepat sasaran, itu berhasil mengenai dada Jisung hingga pemuda itu langsung ambruk di tempat.
Haechan berjalan dengan pelan ke arah Jisung, tangannya kemudian menggenggam erat panah tersebut, semakin lama semakin menekannya.
"AKHHH!! SAKIT, BRENGSEK!!!" Jisung kembali mengerang, napasnya tersendat-sendat. Kepalanya serasa berputar-putar.
"Gimana? Sakit? Itu yang temen-temen gue alamin."
"Lo gak tahu kenapa gue dan Jeno memutuskan ngelakuin ini semua," kekeh Jisung dengan air mata yang mengalir, ia menatap wajah Haechan dari bawah.
"Tapi lo bunuh temen-temen gue. Sebentar lagi juga lo akan bunuh gue."
"Karena lo lebih belain temen-temen sialan lo itu dibanding keluarga lo sendiri!"
"Lo gak tahu apa-apa, Park Jisung! Lo kira selama ini gue diam aja, hah?!"
"Lo memang diem." Jisung kembali tertawa dengan tenaganya yang mulai menipis. "Lo gak ngelakuin apapun."
Haechan menatap datar Jisung, wajah pemuda itu tak menunjukkan ekspresi apapun.
Jisung dengan tenaganya yang masih tersisa, ia mencabut panah di dadanya dengan cepat, darah mengucur dari sana. Namun Jisung mengabaikan rasa sakitnya, tujuannya lebih penting sekarang.
Tanpa aba-aba pemuda itu segera melayangkan tinju pada Haechan, pemuda itu tak mengelak seakan-akan menerima begitu saja.
Jisung memukuli pemuda itu dengan membabi buta. Bahkan ia mengambil kayu yang tergeletak di sana dan memukuli badan Haechan brutal.
"Gue gak pingin lo mati tapi lo harus mati," desis Jisung dengan tenaga yang melemah. Napasnya mulai tersendat-sendat. Darah terus mengucur dari dadanya, Haechan yang sekarang sedang berada di bawahnya dapat melihat luka itu dengan jelas.
Hatinya sakit.
"Park Jisung."
"Gue gak akan bunuh lo. Kayaknya lo harus ketemu dulu sama Jeno sebelum mati, gue yang akan mati lebih dulu." Jisung menjauh dari tubuh Haechan yang sudah tak berdaya.
"Lee Haechan.. ikutin kata hati nurani lo."
Setelah mengatakan hal itu, Jisung pergi dari sana dengan terseok-seok. Pemuda itu mendekati tepi kapal dengan tatapan kosong, angin laut menerpa wajahnya.
Sejenak, Jisung tersenyum..
Membayangkan bagaimana keluarga Ibunya yang bahagia tanpa dirinya sebelum ini semua terjadi membuat Jisung sakit. Tapi, hal yang lebih membuatnya sakit adalah.. kematian Sang Ibu.
Jisung benar-benar hancur saat itu.
Jisung tak apa diabaikan, Jisung tak apa tak dianggap, asalkan Ibunya hidup bahagia.
Jisung tersenyum miris, kemudian menghapus jejak air mata di pipinya dengan kasar.
Sedetik kemudian, Jisung menjeburkan diri ke laut,
Beserta segala penyesalannya, Jisung tertelan oleh kejamnya air laut.
note;
bab nii emang singkatt,
aku langsung pub bab selanjutnyA