JLEB!!!
Semuanya terbelalak dan memekik kaget begitu Chenle dengan brutal menusukkan pisau tersebut kepada Mark sehingga pemuda itu ambruk. Jeno yang pertama kali menarik pemuda itu mundur, tapi aneh, tangan Jeno menembus tubuh Chenle.
"LO GILA?!" pekik Jaemin murka, ia hendak melayangkan tinju pada Chenle namun tangannya kembali tembus.
Chenle yang melihat itu terkikik geli. Ia puas melihat wajah teman-temannya.
"Mark.. bertahan.." Haechan berusaha menghentikan pendarahan pada dada Mark.
Napas Mark mulai tersendat, pandangannya memburam. Pemuda itu menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang amat luar biasa. Haechan membaringkan kepala Mark dipahanya, matanya berkaca-kaca.
"Jeno, k-kayaknya kita harus─"
"Lo mau ngapain?" Chenle tertawa lagi. "Di sini gak ada obat-obatan sama sekali. Tinggalin dia, dia bakalan mati."
"LO─"
"Jaemin, lo gak usah marah-marah deh. Nasib lo sebentar lagi juga akan sama kayak Mark. Oh iya, kenapa ekspresi kalian sedih begitu, harusnya kalian seneng dong. Perundung ini akan mati."
"ZHONG CHENLE!"
"Kenapa? Gue salah?" Chenle menatap Jeno tak takut, tak lama pemuda itu menatap sendu teman-temannya.
"Tugas gue sudah selesai. Sayang banget, padahal gue masih pingin sama-sama kalian." Setelah mengatakan hal itu Chenle berlari ke sudut kapal dan menjeburkan diri ke air begitu saja.
Jisung yang hendak mencegah segera ditarik paksa oleh Jaemin.
"Dia pantes mati."
"Apa maksud lo?!"
"Lo gak lihat apa yang udah dia lakuin ke Mark?" tanya Jaemin menunjuk Mark yang sudah terbaring tak berdaya dengan bersimbah darah.
"Tapi dia tet─"
"Dia bukan Zhong Chenle! Zhong Chenle udah mati malam itu, gue lihat pakai mata kepala gue sendiri!" seru Jaemin frustasi. Pemuda itu stress.
"A-apa maksud lo?" tanya Jisung tak mengerti.
"K-kenapa lo gak nolongin Chenle?" tanya Mark kemudian dengan suara seraknya, kesadarannya mulai habis.
"Gimana gue bisa nolongin dia dari makhluk yang bahkan gue gak tahu? Gue lihat sendiri tubuh Chenle dirobek-robek dengan tak berbelas kasih."
Mark menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia kemudian menatap Haechan yang menangis menumpu kepalanya. Ia mulai tak bisa bernapas.
"Lo jangan nyusul Renjun dan Chenle.." tangis Haechan memeluk tubuh tak berdaya Mark. Jeno melihat itu membuang muka, hatinya seperti tercabik-cabik.
"Mark.."
"Maaf.. kayaknya emang bener.. ini balasan dari sikap gue dulu. Gue memang pantas mati."
"Mark.."
"Tolong berjuang, gue harap setelah ini gak ada satupun yang nyusul gue."
Setelah mengatakan hal tersebut, mata Mark terpejam sempurna. Haechan semakin menangis dibuatnya. Jaemin mengulum bibirnya, sementara Jisung, ia menatap Haechan penuh arti kemudian beralih pada Jeno dan tubuh Mark yang sudah tak bernyawa.
Pandangannya sempat bertemu dengan Jeno sebelum akhirnya kedua pemuda itu sama-sama membuang muka.
"Sebentar lagi pukul 10 malam."
Haechan menatap ujung sepatunya dengan kosong, tiga orang yang berharga untuknya dihilangkan secara paksa.
"Ada pesan dari orang itu gak?" tanya Jeno pada Jaemin yang sedang sibuk mengotak-atik ponselnya.
"Belum ada."
"Lo bertiga ada rasa sedih gak?" Haechan tiba-tiba bangkit berdiri dari ranjang dan menghampiri Jeno dan Jaemin yang sedang berada di sudut kamar, di depan meja rias. Jisung sedang berbaring tanpa minat.
"Haruskah gue jawab pertanyaan itu?" balas Jaemin acuh tak acuh.
"Jaemin," tegor Jeno sebab ia sudah muak akan keributan.
"Setahu gue lo temen Mark dari kecil." Haechan menaikkan dagunya, menatap Jaemin dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Lo tahu dari mana?" tanya Jaemin menyipitkan matanya curiga.
"Lo ini bodoh atau goblok?" umpat Haechan menatap tajam Jaemin.
"Apa maksud lo?!" Jaemin menatap Haechan tak suka. Jeno di sebelahnya menghela napas, sepertinya baku hantam akan terjadi lagi.
"Dasar bodoh, dungu, lo itu memang egois. Yang lo perhatiin cuman diri lo doang."
"Lo kalau ngomong bisa mikir dulu gak anjing?"
Haechan terkekeh remeh, pemuda itu memandang Jaemin sinis.
"Mark itu saudara kembar gue, sialan."