O 1

78 10 0
                                    

"WOYLAH, TOLONG KALAU DIKASIH TANGGUNG JAWAB YA DIJALANIN! DISURUH PIKET AJA SUSAHNYA KEBANGETAN!"

DAK DAK DAK!

Penghapus papan tulis itu dipukulkan ke papan tulis dengan keras, Renjun berkacak pinggang menatap teman-temannya yang justru asik menyampah. Bungkus permen karet di mana-mana, pesawat kertas yang udah lecek pun juga bertebaran di sekitar ruang dalam kelas.

Renjun kesal bukan main.

"Hoi, mau ke mana lo, Mark?!" tanya Renjun berteriak pada Mark yang sedang menggigit bukunya dan memakai tas, hendak keluar kelas, pulang.

"Ya mau pulanglah, apalagi?"

"Lo tunggu di kelas! Piket juga, hari ini jatah lo piket kan?!" seru Renjun galak bukan main.

Hmm, walaupun wajahnya seperti orang kalem dan pendiam, jangan salah. Renjun ini toanya anak kelas 12-A, Haechan yang biasanya dikenal biang kerok aja kalah toa sama Renjun.

"Lo juga! Awas kalau bolos!" ancam Renjun pada Haechan yang sedang berganti pakaian. "Yah, gue mau ekskul, Jun. Lo jahat banget sih," sungutnya.

"Gak peduli, kalau gak mau tinggal bayar denda. Gampang kan?"

Haechan mendesah malas, sedangkan Renjun kembali menelisik keadaan kelas yang tak kondusif.

"Kalian pikir kalau kelas kotor yang merasa dirugikan siapa? Semuanya! Bukan cuman kalian yang ngotorin, piket itu hal sederhana yang seharusnya tanpa diperintah pun kalian lakuin!" ceramah Renjun panjang dan lebar.

BRAK!!

"BANGUN, INI BUKAN JATAH TIDUR!!"

Renjun menggebrak kasar meja Jeno, di mana pemiliknya sedari tadi sedang asik tidur. Jeno terkejut, pemuda itu bahkan hampir kejungkal ke belakang kalau tidak ditahan tangan Renjun.

"Hari ini lo piket kan?" tanya Renjun kemudian, Jeno mendengus, menyisir rambutnya malas. "Apa sih, lo gak punya sopan santun ya? Tinggal senggol pelan bisa kan?" Wajah Jeno nampak tidak suka.

"Gak peduli, itu salah lo sendiri yang tidur di jam sekolah."

"Ini udah pulang sekolah."

"Sama aja, sebelum lo keluar dari kelas ini. Gue masih punya hak."

Jeno mendecih, melirik sinis Renjun sebelum akhirnya berjalan ke sudut ruangan. Pemuda itu mengambil pengki dan sapu, kemudian menyapu lantai dengan kasar.

Debu dan kotoran sengaja ia arahkan pada Renjun dengan sapu.

"Woi, yang bener dong nyapunya! Ke gue semua ini!" protes Renjun kesal. Jeno mana peduli.

"Jangan bangunin singa dari kandangnya woi!" peringat Mark. Renjun mendelik. "Apa maksud lo?!"

"Maksud gue, jangan bangunin singa yang sedang tertidur di kandangnya, sebab─"

"IYA, MAKSUD GUE LO NYINDIR SIAPA?!"

Mark mengerjab, kemudian mengelus dadanya sabar. Astaga, suara Renjun bukan main..

"Woi, gue beneran harus ekskul!" celetuk Haechan tiba-tiba sambil nyengir. "Gue mau basket."

"Kepala lo sini gue jadiin bola basket?!" sahut Renjun galak seakan-akan tak ingin dibantah.

Teman-temannya yang lain hanya menggelengkan kepalanya, sudah biasa melihat tingkah mereka berempat yang selalu bertengkar di manapun mereka berada. Padahal mereka teman.

"Jisung mana ya?" tanya Mark tiba-tiba. "Ada yang mau gue bahas nih." Pemuda itu menyelonjorkan kakinya lesehan di lantai kelas.

"Heh, awas dong. Udah tahu orang lagi nyapu," cibir Jeno menatap Mark kesal.

"Halah, udahlah gak usah nyapu bersih-bersih. Toh, besok ya kotor lagi."

"Gigi lo mau gue cabut?!" sambar Renjun cepat. "Harus bersih!"

"Emang lo pikir gue babu lo?!" balas Jeno tak mau kalah. "Udah kalau ngomong pakai urat lagi."

"Gue bukan bakso yang punya urat, jadi gue ngomong pakai pita suara," sahut Renjun kembali. Mark tersenyum paksa. Haha, lucu sekali.

"Udahlah, kita kan bentar lagi mau liburan nih. Gue mau─"

"Mark, lo manggil gue?"

Jaemin tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan senyum tengilnya, di belakangnya diikuti Jisung yang nampak memakai kacamata hitam.

"Mana Chenle?" tanya Haechan kemudian.

"Lagi ke toilet, habis dicincang sama Bu Rere," jawab Jaemin.

"Mereka bisa-bisa jatuh cinta lho, dari dulu gak berubah. Berantem terus, nanti kalau benci jadi cinta gimana?" sahut Jisung yang segera mendapat jitakan dari Renjun.

"Lo mau Chenle berjodoh sama Bu Rere?!"

"Ya gak papa mah kalau udah jodoh, kita bisa apa?"

"Lo aja sana sama Bu Rere!" Chenle tiba-tiba datang dan segera menampol lengan Jisung keras.

"Najis."

"Gue juga najis!"

"Jadi gini teman-teman." Mark memulai pembicaraan. "Gue pingin liburan nih, nanti kan kita ada liburan seminggu. Enaknya ke mana nih ya?"

"Tumben lo ngajak liburan," ujar Jeno.

"Ya pingin aja. Udah lama kita gak pergi bareng."

"Tapi ke mana? Dan ngapain?" tanya Jaemin.

"Ya makanya gue ngajak kalian kumpul biar bisa mikir bareng."

"Kayak semua bisa mikir aja," cibir Renjun terang-terangan. Mark terkikik geli melihat wajah sepet teman-temannya begitu mendengar cibiran Renjun. Sepertinya tertohok.

"Konser aja lah," saran Jisung.

"Gak mau, itu kan sehari doang, besoknya bosen lagi," tolak Chenle. "Ke India aja hayuk."

Tak!

"Akh! Sakit woi!" Chenle mengelus kepalanya yang kena jitak oleh Renjun.

"Ya makanya, ngapain lo ke India?! Paham bahasanya lo?! Kayak punya uang aja lo."

"Lah, gue punya uang. Paling yang gak punya uang ya kalian," ucap Chenle dengan polosnya menghina. Renjun yang pingin nampol Chenle pun mengurungkan niatnya, ya gimana.. habisnya omongan Chenle seratus persen benar.

"Gimana kalau liburan ke desa gitu?" saran Haechan.

"Gak mah ah, kalau di desa-desa kayak horror gitu." Sekarang gantian Jisung yang menolak. "Yang lain aja lah."

"Eh." Jaemin tiba-tiba teringat sesuatu. "Gue dapat tiket naik kapal gratis loh."

"Hah? Tiba-tiba?" bingung Jisung. Jaemin mengangguk. "Iya, ada yang kirimin gue."

Jaemin menyodorkan ponselnya, teman-temannya mengernyit.

"Ini prank gak sih?" tebak Haechan dan Mark mengangguk seakan-akan setuju.

"Tapi kayak beneran."

"Eman─"

Drrtt drrttt

Ponsel Jaemin kembali berdering, notifikasi dari nomor yang sama muncul.

unknown
[Send location]
| Selamat berlibur!
| Ini hadiah untuk kalian bertujuh!



































note;
jujur aku berterima kasih
banget untuk kalian yang
bersedia baca ceritaku ini :)

Into the Unknown ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang