O 8

23 5 1
                                    

"Jeno, semalam lo di mana?"

Mark berbaring dengan lemah di kasur, ia terkena demam. Serius, semalam itu benar-benar kejadian paling menyeramkan seumur hidup Mark. Sementara Jeno yang membawakan makanan untuk Mark mengernyit.

"Bukannya tadi malam kita ketemu ya?"

"Iya ketemu! Kita ketemu kok ketemu! Tapi lo yang mana?!" Mark malah jadi sewot sendiri.

"Lah, gue kan di kamar Jisung," balas Jeno terlihat bingung. "Jaemin juga nangis tadi malam sampai manggil-manggil mamanya, pada kenapa sih kalian?"

"Udahlah lupain, kalau gue ceritain yang ada lo malah jadi takut juga," ujar Mark nampak pasrah kemudian makan dengan lesu, mana ia terserang pilek lagi. Jeno yang memperhatikan itu tersenyum geli.

Melihat Mark si ketua OSIS ketakutan itu adalah hal yang membahagiakan.

"Jen, Renjun belum ditemuin kah?" tanya Mark setelah menyedot ingusnya dalam-dalam lalu dikeluarkan di bantal.

Senyum Jeno lentur.

"Belum."

"Lo gak menemukan sesuatu yang janggal?"

"Gak. Dia hilang gitu aja."

"Dia gak mungkin kabur sendirian kan?" gumam Mark pusing. "Kalaupun kabur, naik apa coba dia?"

"Dia sengaja dihilangkan?" tebak Jeno. Mark yang sedang melahap makanannya tersedak.

"S-siapa yang tega?"

"Mark, lo benar-benar percaya bahwa kita semua teman kah?" tanya Jeno dengan senyum mirisnya.

"Maksud lo?"

"Lo denger sendiri perkataan Chenle waktu itu, dan firasat gue.. pelaku yang neror kita selama ini itu salah satu dari kita."

"Kenapa lo berpikir kayak gitu? Kita udah temenan dari lama, Jen."

"Lo tahu sendiri apa yang pernah terjadi di antara kita. Pelaku dan korban, gak mungkin jadi satu. Gue sudah bilang ini dari lama."

Setelah mengatakan hal itu, Jeno pergi begitu saja meninggalkan Mark yang terpaku.




































































































"Chenle, lo lihat Renjun gak?"

Yang ditanya hanya mengendikan bahunya acuh sebelum kembali membaca koran. Cih, padahal korannya saja terbalik.

"Renjun hilang," ujar Jisung cemas.

Chenle tetap acuh.

"Lo gak lihat sesuatu kah tadi malam?"

"Woi, cina kw!"

"Lo minta gelud ya?!"

Karena sebal diabaikan, rambut Chenle dijambak oleh Jisung dengan brutal. Chenle mengaduh kesakitan.

"GUE UDAH BICARA BAIK-BAIK YA TAPI LO ABAIIN! RASAKAN KEMARAHAN GUE!" pekik Jisung tanpa niat berhenti.

"Apa sih!"

DUAKH!

Merasa terancam, Chenle menyikut perut Jisung dengan kesal yang membuat jambakan itu akhirnya terlepas.

"Lo kenapa sih?! Aneh tahu gak?!" seru Jisung menunjuk-nunjuk wajah Chenle.

"Lo yang bodoh, gue kasih isyarat dari kemarin gak pernah ngerti. Jadi jangan salahin gue, kalian bahkan gak fokus sama clue yang gue kasih." Chenle menggelengkan kepalanya heran kemudian melenggang pergi sembari terkikik pelan.

Jisung memijat keningnya pusing.

Clue apa?

Clue bahwa memang pelakunya ada di antara mereka?








































































unknown
| Lo belum ngerti juga ya
| Peraturannya cuman 1
| Dan pilihannya cuman 2
| Lo nurut sama gue atau satu nyawa
bakalan melayang
| Jangan cari Renjun
| Dia udah gugur
| Dan kalau lo masih gak nurut,
yang lainnya juga akan gugur
| Eh gak deh, maksud gue,
kalian semua akan gugur











"Hoi, wajah lo pucat amat. Masih takutkah sama yang kemarin?"

Haechan menabok wajah Jaemin yang melamun memikirkan bagaimana pesan yang didapatnya pagi ini.

"Ck, bodoh! Jangan bikin gue emosi deh pagi-pagi!" sembur Jaemin sensi.

"Ya lo nya kenapa? Dipeduliin malah marah-marah cih," cibir Haechan ikutan sebal. Pemuda itu kemudian beralih membuka lemari, menata pekaiannya.

"Chan, lo ngapain nata pakaian?"

"Ya supaya koper gue gak penuh."

"Masukin koper aja, gue bener-bener pingin pergi rasanya dari sini."

"Kenapa? Takut ya? Cie, si tukang gombal dan narsis takut, cie~" goda Haechan tak tahu diri, dia gak ngaca aja.

"Heh, mingkem!"

"Ya lagian itu salah lo sendiri, kan gue udah bilang di kamar aja gak usah ke mana-mana."

"Gue gak butuh ceramahan lo."

"Gue gak ceramah, gue menasihati bodoh."

"Sama aja."

"Jaem, jangan sampai lo gue buat luka-luka kayak tahun lalu," ujar Haechan menyipitkan matanya, nampak serius.

"Terserah, lo kan bukan Mark. Lo yang bakalan gue buat babak belur."

Haechan mendengus, perkataan Jaemin tak salah sih.

"Mending lo cari Renjun─"

"Renjun pasti udah gak hidup," potong Jaemin cepat.

Haechan mengernyit tak suka. "Maksud lo ngomong gitu apa?! Lo kalau gak suka sama Renjun bilang aja!" serunya.

"Lo lihat sendiri lah." Jaemin melempar ponselnya dengan malas ke arah Haechan.

"Ini beneran?" tanya Haechan tak percaya setelah membaca pesan di ponse Jaemin.

"Lo masih nanya? Mau gue gejrot lo jadi tahu gejrot?!"

"Ya gue kan kaget, otomatis nanya! Emangnya salah?!"

"Salah ngasih pertanyaan bodoh itu!"

"Lo yang bodoh, udah gak niat sekolah. Kalau di sekolah kerjaannya pacaran sama gombalin orang terus!"

"Lah kok merambat ke sana?" Jaemin berkacak pinggang. Ia jadi emosi.

"Ya makanya jangan ngatain!"

"Udahlah, ini jadinya kita harus gimana?"

"Kan belum ada perintah, tunggu aja," ujar Haechan mengendikan bahunya. "Tapi kita harus kasih tahu yang lainnya biar mereka waspada."

"Chan, tapi gue takut.."

"Kenapa?"

"Lo ingat gak ucapan Chenle waktu itu?"

"Yang mana?"

"Ck!"

"Iya-iya inget! Kenapa?"

Jaemin terdiam sejenak, pemuda itu mengulum bibirnya, agak ragu ingin mengatakan. "Gue rasa pelakunya salah satu dari kita."

"Ck, gak mungkin. Lagian Chenle juga tahu dari mana? Memangnya dia pelaku?"

"Kalau gue kasih tahu Chenle sebenarnya udah meninggal. Lo percaya gak?"

"Gak usah bercanda, Jaem."

Namun Haechan salah, wajah Jaemin sekarang benar-benar nampak serius. Tatapan matanya penuh arti dan wajahnya memucat seakan benar-benar ketakutan.

"Malam itu, gue lihat mayat Chenle dengan mata kepala gue sendiri."

Into the Unknown ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang