Jam sudah menunjukan pukul delapan pagi, matahari sudah bersinar terang di langit, menyisakan Devon yang mulai merasa tidurnya terusik karena rasa panas yang menjalar di dalam perutnya.
"Akhh-" rintihnya tertahan. Perlahan matanya terbuka, menatap sekitarnya, dan segera menyadari kalau dia berada dalam dekapan tubuh besar milik Arson.
Jika saja, dia tidak sedang merasakan sakit yang menyiksa di perutnya, mungkin saja saat ini Devon tengah terpana oleh pesona wajah Arson yang sedang tidur. Namun, sekarang bukan saatnya untuk mengaggumi ketampanan musuhnya itu, karena seluruh fokusnya diambil alih oleh rasa panas yang membuat napasnya seperti tercekik.
Devon meremat kuat perutnya yang di rangkul oleh lengan Arson. Berusaha keras untuk menahan suara rintihannya supaya Arson tidak terganggu, tapi sekeras apapun dia mencoba, rasa sakit ini justru semakin terasa mencekik, seperti mencoba menguji ketahanan dirinya.
"Ashhh... K-kenapa sakit?" gumam Devon lirih. Dia merapatkan bibirnya dan bergerak perlahan menenggelamkan kepalanya pada bantal yang dia gunakan. Bermaksud meredam suaranya yang terasa akan menangis. "S-sakit banget aih..."
Namun, usahanya sia-sia. Gerakan-gerakan kecil yang dilakukannya malah membuat Arson terbangun. Laki-laki itu membuka matanya perlahan, bingung dengan pergerakan tidak nyamam dari orang yang ada dalam pelukannya. Arson melihat Devon yang sedang menyembunyikan wajahnya pada bantal.
"Devon?" tanya Arson dengan suara serak yang seperti masih mengantuk. "Devon, lo bangun?" tanyanya lagi untuk memastikan apakah Devon masih tertidur atau tidak.
"Sshh..." Desisan pelan masuk ke dalam indera pendengaran Arson. Menyalakan sinyal darurat dalam kepalanya, pertanda bahwa ada sesuatu yang tidak beres terhadap Devon.
Arson segera bangkit dan meraih tubuh Devon agar dapat melihat wajahnya. "Devon? Lo kenapa?" tanyanya yang langsung panik saat melihat wajah Devon yang seperti tengah menahan rasa sakit. Mata cerah milik Arson juga menangkap tangan Devon yang mencengkeram kuat perutnya sendiri. "Perutnya sakit? Asam lambung lo kambuh ya?"
Devon menggelengkan kepala, tetapi dia tidak bisa berbohong kalau perutnya memang sedang bermasalah. "Enggak, g-gapapa kok. Arsonnya tidur lagi aja, ya" katanya dengan lembut.
"Mana ada gapapa? Jelas-jelas lo kesakitan gitu." Arson tidak semudah itu terkecoh. Dia bergerak membantu Devon duduk dengan gerakan lembut, lalu langsung menggendong tubuhnya.
Devon yang kaget spontan memeluk leher Arson sebagai pegangan. "Arson, kita mau kemana?" tanyanya kebingungan.
"Ke klinik. Biar lo diperiksa terus dikasih obat" jawab Arson dengan mata yang terus menatap lurus ke depan, menyembunyikan kepanikannya terhadap Devon.
"Loh, kok ke dokter sih? Enggak, Devonnya gamau ke tempat dokter. Turun ih Arson, jangan ke dokter. Nanti kalo Devonnya disuntik gimana? Ih enggak. Turun! Mau turun!" rengek Devon yang berontak dalam gendongan Arson.
Sebisanya, Arson menahan pergerakan Devon supaya anak itu tidak terjatuh. Masih tetap teguh dengan pendiriannya yang hendak membawa Devon ke klinik untuk diperiksa. "Diem Devon! Lo bisa jatoh kalo banyak gerak kaya gitu" Arson menegur saat keseimbangannya sempat oleng.
"Jangan ke dokter, Arson. Turunin Devonnya, please. Katanya Arson janji gak jahat, tapi kok ini malah mau kasih Devonnya ke dokter? Itu jahat tau, gak boleh gitu. Ayo turunin aja Devonnya" Devon masih terus merengek dengan muka memelas dan mata berkaca-kaca menatap Arson.
"Ini buat kebaikan lo, jadi gak jahat namanya" sahut Arson yang tidak mudah goyah dengan rayuan wajah Devon yang menggemaskan.
"Itu namanya ja-akhh..." Perkataan Devon berganti pekikan sakit saat perutnya kembali terasa melilit. "S-sakit..." rintihnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...