Chapter 3

1.3K 64 0
                                    

Justin meneguk ludahnya saat melihat gadis bermata cokelat di hadapannya sedang menangis dan berteriak kencang-kencang. Pria itu mengerang frustasi terlihat benar-benar emosi—astaga. "Kau... kau berusaha mengintipku! Dasar pria sialan." Shaylene mengumpat lagi diiringi tangisan dengan punggung tampak sesenggukan. Justin mendengus lelah, entah sudah keberapa kali dia mengatakan bahwa dirinya tidak mengintip gadis itu sama sekali lantaran hanya karena faktor ketidak sengajaan yang mengharuskan Justin berdiri di depan pintu kaca.

"KAU JAHATTTT!!!" Shaylene berteriak lagi, kali ini lebih histeris membuat Justin tercengang dan memundurkan tubuhnya terkejut. Geez, gadis ini benar-benar gila. Demi bulan dan Pluto, dia belum pernah melihat seorang gadis yang menangis hanya karena diintip saat berenang. Apakah dia memang tidak waras? Hey, ini kota New York dengan gadis-gadis berjalanan di pinggir jalan menggunakan underwear sekalipun tidak akan masalah.

"Berhenti menangis." Justin membentak tegas berharap agar gadis itu berhenti mengeluarkan air mata, tapi nyatanya adalah tidak. Shaylene masih tetap menangis.

"Itu pelecehan, jika ada seseorang yang mengintip seorang peri sedang berenang itu adalah kesialan terbesar dan peri itu akan celaka." Justin memainkan alisnya bingung. Eh—wait... peri? Apakah dia mengira bahwa dirinya adalah sesosk peri? God sake. Justin menahan senyumnya ingin tertawa keras-keras membuat Shaylene memalingkan wajah dan menatapnya geram.

"Apa yang sedang kau tertawakan? Apakah itu lucu?!" balasnya ikut membentak membuat pria itu kembali memperlihatkan seraut ekspresi dingin tanpa senyum dengan sepasang bola mata tampak membeku seperti bongkahan salju.

"Kau pikir aku sengaja mengintipmu berenang? Ck, lebih baik aku tidur dibanding membuang waktu untuk itu." Justin menggelengkan kepalanya sembari menunjukkan senyum meremehkan yang justru membuat kelopak mata Shaylene melebar. Satu tangan gadis itu langsung meluncur memukuli bahu Justin keras-keras membuat tubuhnya terjungkang jatuh ke belakang. "Ya, kau! Fuck!" Justin mengerang sembari mengepalkan tangannya kesal saat punggungnya jatuh berbenturan dengan kerasnya lantai. Shaylene kembali menangis, bola matanya meneteskan air mata membuat Justin yang semula ingin membentak kini langsung mengerang, lagi.

"Berhenti menangis, bisakah kau?"

"Tidak bisa."

"Lalu apa yang kau inginkan?"

"Kau sudah menodai kesucianku!" Justin langsung membulatkan matanya dan ternganga spontan. What the hell?! Pria itu tampak sedikit kalut dan wajahnya langsung memerah padam, merasa malu luar biasa. Shaylene mengatakan bahwa dirinya sudah menodai kesucian miliknya? Heck, itu alasan konyol yang sama sekali tidak masuk akal bahkan dia sama sekali tidak melakukan sesuatu pada Shaylene. Setidaknya dia butuh berpikir dua kali lipat untuk menyentuh gadis dari planet mars yang memiliki kepribadian tidak waras semacam Shaylene. Justin berpikir sepertinya gadis itu adalah korban teater musikal yang tiba-tiba menjadi gila dan selalu menganggap dirinya sebagai seorang peri. See, itu tidak masuk akal kan.

"Aku tidak melakukan apapun!" Justin tidak bisa lagi menahan kesabarannya membuat Shaylene kembali menangis dan berteriak histeris.

"Berhenti bersifat kekanakan di depanku."

"Kau... kau sudah melihat bagian dalam diriku.... Bagaimana mungkin aku tidak menangis."

"Oh, jadi sekarang kau justru menyalahkanku? Apakah kau tidak sadar bahwa ada laki-laki tinggal di rumah ini dan kau di sini hanya menumpang jadi aku berhak melakukan apapun yang aku mau." Shaylene masih terisak, Justin kembali duduk diatas sofa dan berhadapan dengan gadis itu. Sepasang bola mata karamelnya memperhatikan wajahnya intens dan dalam waktu kurang dari lima detik Justin akhirnya menyerah.

The Law (By Erisca Febriani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang