Chapter 9

1K 48 0
                                    

Justin Bieber's View

Aku menghentikan motor tepat di sebuah restoran besar bergaya bintang lima, tempat di mana biasanya aku menghabiskan waktu jika saja merasa bosan berada di rumah dan di sekolah. Aku masih merasakan cengkraman tangan Shaylene mengencang di perutku nyaris membuatku mual karena dia menekan tepat di bagian lambungku, satu tanganku beralih menghempaskan jari tangannya dan sempat merasakan permukaan kulitnya terasa dingin.

"Monkey, cepat turun!" Aku membentak keras dan mendorong tubuhnya ke belakang. Gadis bermata cokelat itu menarik pakaianku saat dia nyaris saja terjengkang jatuh ke belakang, tampak ketakutan seakan motor adalah kendaraan paling asing dimatanya.

Astaga.

Aku menebak, dia seperti manusia yang masih berada dalam zaman di mana Sherlock Holmes masih tinggal di Baker street atau saat di mana keluarga Bakerville masih sibuk mencari harta karun yang terpendam di dalam tanah. Iya, dia jauh lebih primitif dibanding masa-masa itu. Aku mendesah dan segera turun dari atas motor setelah sebelumnya sudah menarik stang untuk menyangga agar kendaraan itu berdiri seimbang saat diparkirkan. Shaylene masih duduk diatas jok motor dengan berpegangan pada tubuh motor. Bola matanya tampak melotot, jelas sekali menunjukkan bahwa dia ketakutan. Aku berdecak lagi.

"Apa kau akan terus berada di situ, hah?" aku berteriak keras merasa benar-benar emosi tiap kali dia ada di dekatku. Aku tidak habis pikir kenapa harus ada tipe wanita yang sangat purba sepertinya. Maksudku, dia seperti seorang gadis yang tertinggal dari pergerakan globalisasi. Well, di zaman modern seperti ini, mana ada sih seorang manusia yang sama sekali tidak mengenal vacum cleaner, tidak mempunyai handphone dan mengaku-ngaku sebagai bidadari. Oke—wait, apakah itu benar... dia berasal dari Istana langit? Tidak mungkin. Shaylene sepertinya nyaris gila lantaran terlalu banyak berkhayal menonton serial Barbie dan bidadari.

Aku berpikir bahwa dia seperti seorang manusia yang berasal dari Babilonia atau Hittite di mana pada waktu itu—mereka hanya berkutat pada penemuan-penemuan sejarah, arkeologi. Tapi tidak ada orang Babilonia sebodoh Shaylene. "Manusia terkutuk! You bastard, sialan!! kau sengaja sekali membuatku takut... "Dia kembali berteriak dengan suara yang mempunyai frekuensi tinggi dan berpotensi membuat telingaku berdenging. Aku meringis, memutar wajahku kearah samping dan melihat beberapa orang sedang memperhatikan kami. Iya kami, aku dan Shay. Aku mengepalkan tanganku merasa malu luar biasa. Sialan. Apakah gadis itu memang sudah ditakdirkan untuk selalu membuat hal-hal paling konyol yang terkesan sangat memalukan. Aku langsung berbalik, tak peduli dan melangkah masuk kedalam restoran.

Suara waitress dan beberapa pelayan lainnya menyambutku, aku memasukkan satu jari tanganku di dalam saku sembari menunggu hingga Shaylene benar-benar berjalan menyusul di sisiku tapi selama sepuluh menit aku berdiri, gadis itu tidak muncul atau memperlihatkan batang hidupnya sekarang. Aku berdecak, bersumpah dalam hati. Apakah gadis itu kabur?! Sialan. Aku berlari keluar dari dalam restoran lantas melotot begitu melihat Shaylene menangis di atas motor. Dia masih duduk di atas jok, tampak ketakutan dengan memperlihatkan ekspresi histerisnya. What the fuck?!

"Ya kau!"Aku berteriak hingga akhirnya gadis itu kembali melirikku lewat sepasang bola matanya yang memerah, aku beringsut berjalan mendekatinya.

"Kenapa kau tidak turun, bodoh?"

"Siapa yang bodoh? KAU. Kau yang bodoh, sudah tahu kan aku tidak tahu cara naik kendaraan sialan ini.... dan justru kau meninggalkanku sendirian di sini. Benar-benar terkutuk." Aku mengigit lidahku sendiri merasa ingin mati bunuh diri. Geez, serius gadis ini..... aku langsung mendekat dan mendorong tubuhnya hingga dia langsung melakukan gerakan refleks menjejakkan kaki untuk turun dari motor. Aku kembali menarik telapak tangannya untuk mengikuti langkahku kembali masuk ke dalam restoran. Shaylene akhirnya berjalan di sebelahku dan bola matanya kembali bertekut memperhatikan bagian dalam restoran.

The Law (By Erisca Febriani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang