*****
Sepasang bola mata cokelat kayu itu terdiam—dengan tatapan sirat dengan bayang-bayang. Dia mengigit bibirnya keras hingga menimbulkan bercak memutih di permukaannya, jemari tangannya terkepal berusaha mengendalikan emosi dan menandakan bahwa dirinya tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ya, tentu saja. Dia merasa ambigu, namun di lain sisi sedikit linglung. Apa yang seharusnya dia lakukan sekarang? dunia bukan tempatnya. Bukan. Tempat aslinya adalah di langit, dan dia bukan seorang manusia. Shaylene merasakan dadanya terasa sesak, ditikam beribu-ribu ingatan yang menyerbu otaknya. Mulai dari Logan Lerman, Ratu Everence, Whale—sikuda terbang, Laurence, Grace, Freddie, Eragon dan semua orang-orang yang sering dia temui di Istana langit. Lalu dilanjutkan dengan Justin, senyumnya, pelukannya, ciumannya. Siapa yang seharusnya dia pilih sekarang? "Tidak seharusnya seorang bidadari bersatu dengan mortal, kau tahu itu?" Suara Emma seakan seperti guntur yang berkilat, meruntuhkan kenyataan yang sejak tadi terngiang di atas kepalanya. Shaylene menarik nafas perlahan, kembali menatap sepasang manik mata milik Emma yang terkadang berganti warna menjadi biru kehijauan.
"Aku tahu..." ucap Shaylene dengan nada suara gemetar, berusaha menahan air mata yang ingin menerobos keluar dari kelopak matanya. Wanita bermata aquamarin didepannya tampak memainkan alis lantas berdeham lagi.
"Dan kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan? Menjauh dari Justin, karena gadis sepertimu sama sekali tidak cocok untuk anakku. Dia membutuhkan seorang gadis yang memang patut disandangkan di sisinya. Bukan dengan gadis asing sepertimu."
"Aku mengerti." Gadis itu mengangguk pelan, mengerti apa maksud Emma dan dia tidak ingin mendengar kalimat selanjutnya yang akan terdengar dari bibir berlapis lipstick nude red itu.
"Kau seharusnya kembali, karena tempatmu bukan di sini... bumi bukan tempat asalmu, kau harus pulang ke tempat di mana sesungguhnya kau berada."Air mata yang sejak tadi dia tahan dengan susah payah kini perlahan menetes ke pipinya, Shaylene menggeleng berusaha mengatasi emosi yang membabi buta menerjangnya habis-habisan, dia tidak kuat dengan ini... sungguh.
"Menjauh dari Justin."
"Aku tidak bisa melakukan itu".
"Kenapa tidak?! kau tahu, kedatanganmu di sini hanya bisa merusak apa yang sudah aku rencanakan, aku ingin agar dia mendapatkan seorang gadis yang terjamin, berpendidikan dan jelas secara silsilah keluarga bukan dengan tipe wanita sepertimu." Shaylene mengangkat kepalanya, dia bisa merasakan bagaimana sarkasme Emma dalam berbicara dan tatapan sarkastik tepat menghujam dirinya. Ada rasa sakit menebarkan sembilu tepat di bagian tengah jantungnya seolah ada beribu jarum transparan yang kasat mata menusuknya.
"Lima Menit. Aku akan memberikanmu waktu Lima menit untuk berpikir, mulai dari sekarang... jika kau berubah pikiran, maka aku akan langsung menunjukkan di mana tempat itu—tempat yang dapat menghubunganmu dengan terowongan istana langit." Wanita itu menarik satu senyum hingga ujung bibirnya berkerut membuat Shaylene meneguk ludahnya, dia mengigit bagian dalam pipinya untuk berpikir dan tidak ingin jawabannya dapat menjadi sebuah malapetaka. Dia ingin pulang, kembali ke Istana, menjadi seorang peri seperti khalayaknya lantas menjelaskan kepada ratu Everence bahwa dia tidak bersalah. Dia akan melakukan itu, tapi ada bagian dalam hatinya menolak. Menolak untuk meninggalkan Justin.
"Bagaimana? Aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu jawabannmu..." Wanita itu terdengar tak sabaran, hingga akhirnya Shaylene kembali mendesah pasrah merasakan dirinya sudah mendapatkan sebuah jawaban. Jawaban yang mungkin dapat menjadi titik akhir dari segala masalahnya, bukankah setiap permasalahan pasti mempunyai titik terang? sepertinya.... Sekarang bukan saatnya untuk memikirkan perasaan, dia tidak mempunyai cukup waktu untuk memikirkan hati atau ingin memiliki Justin di sisinya. Itu tidak mungkin, dan tidak akan pernah terjadi. Mereka tidak pernah ditakdirkan untuk bersatu.