Justin baru saja keluar dari toilet pria—well, dia jauh lebih memilih berlama-lama di dalam toilet dibandingkan harus berdiam diri di dalam kelas memperhatikan pelajaran matematika yang membosankan. Dia tidak cukup pintar untuk bisa mempelajari linear, segitiga bahkan sama sekali tidak tahu apa rumus Phytaghoras. Dia memutar bola mata karamelnya kearah depan, memperhatikan gedung yang sangat sepi dan hanya beberapa murid tampak berlarian di bawah sana. Pelajaran olahraga. Satu-satunya pelajaran yang Justin sukai memang hanya olahraga—terlebih lagi dengan basket. Pria itu melihat Mr. Rudolf baru saja selesai memberikan praktek dan masuk ke dalam gedung. Membiarkan para muridnya untuk beristirahat sejenak. Pandangan pria itu memperhatikan Sheren. Gadis itu sedang bermain basket di bawah, bersama beberapa anak perempuan lainnya. Justin menarik seringai puas dan berlari menghampiri gadis berambut gelap itu yang tampak kesusahan menembak basket ke dalam ring.
"Justin!" Dia mendengar satu suara aneh memanggilnya. Justin mendelik, memainkan alis dan melihat Jennifer berdiri di sebelahnya. Bah, gadis ini lagi. Benar-benar menyebalkan. Kenapa setiap detik dalam hidupnya selalu ada gadis pengacau. Jika di rumah dia akan bertemu dengan Shaylene, dan di sekolah masih ada Jennifer bersama anggota gang-nya.
"Whoa, apa kau di sini sedang menungguku setelah olahraga?" dia mendelik dengan nada suara manja terkesan dramatis membuat Justin meringis, menggelengkan kepalanya lagi. Pria itu melihat Sheren menatapnya sekilas, masih dengan bola basket ada ditangannya. Justin memainkan alisnya lagi. "Minggir, aku ingin lewat." Justin ingin mendorong Jennifer yang justru berada di hadapannya. Menghalangi jalannya sekarang tapi gadis itu semakin merapatkan tubuhnya, dengan Melanie ikut berdiri mengapit disebelah Jennifer.
Justin langsung mendorong tubuh Jennifer hingga akhirnya mereka terdorong mundur, Sheren sudah tidak ada ditempatnya. Justin menggeletukkan gigi kesal dengan rahang yang mengeras. Semua ini karena dua gadis sialan itu. Dia memutar kepalanya, mencoba mencari sela di mana Sheren berada. Gadis itu pasti tidak jauh-jauh dari sini. Justin memicingkan bola matanya dan melihat Sheren baru saja memasuki gedung. Pria itu terenyum lantas berjalan menghampirinya.
"Sheren!" Justin memanggil namanya sekali, tapi sepertinya Sheren tidak mendengar. Pria itu mendesah panjang dan akhirnya berlari mendekatinya, menyentuh punggung gadis itu dengan jari tangannya membuat Sheren berhenti melangkah dan memutar wajahnya berbalik.
"Justin.... ada apa?" tanyanya heran, memicingkan kelopak matanya. Justin tersenyum tipis—memperhatikan wajah lesu gadis itu sehabis olahraga dengan keringat di pelipisnya. "Kau tampak pucat, kelelahan," ujarnya lagi. Sheren menyentuh pipinya lantas terkekeh kecil.
"Benarkah?" Justin mengangguk, bola matanya memperhatikan manik mata gelap milik Sheren dan mendadak dia merasakan jantungnya berdebar. Uh sial, ini aneh.
"Aku ingin ganti baju dulu," ujar gadis itu selanjutnya, kembali berbalik untuk meninggalkan Justin. Pria itu terdiam, memperhatikan punggung Sheren yang membelakanginya—tapi kenapa dia tampak benar-benar lesu... "Tunggu..." Justin lanjut memekik, belum sempat gadis itu lanjut melangkah kini tiba-tiba tubuhnya jatuh pingsan. Bola mata Justin melotot terkejut dan langsung berlari menghampiri Sheren yang terjatuh diatas lantai. "Sheren?!" deliknya kaget. Dia memperhatikan wajahnya semakin memucat.
Pria itu langsung membungkukkan tubuhnya dan mengangkat tubuh lemas Sheren di dadanya. "Justin?" dia mendengar suara Mr. Rudolf yang muncul dari arah kanannya. "Apa yang terjadi?" tanyanya melirik Sheren. Justin hanya menggelengkan kepala tak mengerti. "Aku akan membawanya kerumah sakit," tambahnya khawatir lantas langsung membawa tubuh Sheren keluar dari gedung untuk masuk ke mobilnya.
****
Justin Bieber's View
Aku terdiam sembari menekuk lututku di depan kamar ruang sakit sementara menunggu seorang dokter keluar dari dalamnya yang saat ini sedang memeriksa keadaan Sheren. Aku menghembuskan nafas pelan sembari berdecak hingga akhirnya selama setengah jam, dokter laki-laki dengan bola mata mengilap kebiruan keluar dari dalam. Aku langsung menghadapkan tubuhku dihadapannya dan menurunkan kakiku, tidak lagi tertekuk. "Dia hanya mengalami sedikit dehidrasi dan kelelahan," ujar dokter itu sembari membenarkan letak stetoskop melingkar dilehernya.