*****
Sepasang bola mata aquamarin itu memperhatikan Shaylene dengan saksama lantas melenguh perlahan, dia berjalan turun dari tangga dan memperhatikan gadis itu lebih lamat lagi. Shaylene sedang duduk membersihkan meja porselen yang melingkar di ruang tengah sofa. Wanita itu berdeham hingga akhirnya membuat Shaylene terperangah dan memutar tubuhnya, bola mata cokelat kayunya bersipandang dengan Emma dan untuk beberapa detik berhasil membuat gadis itu terpaku.
"Ng... kau... ng.. good morning." Shaylene berusaha menyapa canggung, tidak pernah merasa seaneh ini saat beradaptasi. Tapi bola mata aquamarine itu seakan mampu membius seluruh tubuhnya menjadi mati rasa.
"Sejak kapan kau berkenalan dengan Justin?" tanya Emma langsung membuat Shaylene kembali terdiam lagi. Ya, dia tidak tahu harus menjawab apa.
Jangan katakan apapun tentang identitasmu pada Emma, kau mengerti?
Perkataan Justin kemarin malam seakan terputar ulang dibenaknya, dia tidak boleh mengatakan segala rahasianya pada Emma. Tidak boleh. Wanita itu tidak seharusnya tahu di mana dia berasal—jika tidak ingin keselamatannya bisa sepenuhnya terjaga. Bukankah Justin sudah pernah bilang bahwa tidak sepenuhnya manusia di bumi ini diisi oleh orang-orang berhati baik? Kadang kala perlu orang-orang jahat untuk menyeimbangkan kondisi alam. Dan dia tidak pernah tahu bagaimana karakter Emma sesungguhnya.
"Aku—aku....hm, sebulan yang lalu!" jawab Shaylene asal, langsung ceplos membuat Emma memiringkan wajahnya.
"Secepat itu?" Oh. Apakah itu terlalu cepat? batin Shaylene bertanya-tanya lantas meringis. "Lebih tepatnya dua bulan lalu," jawabnya lagi merasa ragu. "Oh tidak, maksudku tiga bulan yang lalu." Sialan. Gadis itu mendengus mendengar jawabannya sendiri, sama sekali tidak efisien membuat Emma menatapnya bingung. Baguslah, dia sudah berbuat sebuah kesalahan besar. Bola mata aquamarine yang terkadang berubah warna kehijauan bercampur warna biru itu menatapnya lama seolah sedang memperhatikan sesuatu.
"Aku tidak ingin Justin jatuh cinta pada orang yang salah, kau tahu. Aku menginginkan seorang gadis sempurna untuk bisa menyeimbangkan dirinya. Dan kau, aku tidak yakin kau termasuk dalam golongan gadis-gadis itu." Shaylene terdiam membeku merasakan tenggorokannya tercekat. Jatuh cinta pada orang yang salah. Pernyataan itu seakan mampu membuat gumpalan pahit di sekitar bibirnya. Tidak, Shaylene itu tidak benar. Shaylene berdesis dalam hati lantas dengan berani menatap mata Emma yang tajam seperti ular.
"Aku tidak tahu apa definisi sempurna yang sebenarnya. Karena sempurna hanya milik Tuhan, tapi aku yakin... aku bisa menjadi gadis terbaik untuk Justin," jawabnya lagi berusaha untuk berani dan Emma menarik nafas perlahan.
"Kau benar. Dan uhm-hm... terbaik? Apa kau memang sudah begitu pantas untuk dikatakan sebagai gadis terbaik?" ucapannya terdengar seperti menyindir. Apakah wanita itu memang sedemikian tidak menyukainya? Batin Shaylene terasa diliputi sebuah kegentaran mencekam, perasaan yang membuatnya sedikit berpikir sejenak.
"Aku akan berusaha."
"Katakan padaku apa saja yang sudah kau lakukan untuk menjadi gadis yang terbaik bagi Justin?" Shaylene mengigit bibir, merasa gugup menjawabnya. Selain itu, dia tidak begitu pintar dalam berdebat. Yah, dirinya memang sedikit cerewet untuk berbicara, tapi tidak dengan begitu dapat membuatnya pintar mengarang sebuah cerita. Dia adalah seorang gadis yang sangat payah untuk berbohong. "Aku tidak tahu, kau bisa bertanya sendiri padanya..."
"Di mana rumahmu sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba bisa berada ditempat ini, berdua dengan seorang anak laki-laki. Bukankah itu terdengar tidak baik? Di mana keluargamu? Apakah mereka tidak mencarimu..."Keluarga. Itu benar, dia mempunyai keluarga. Keluarga besar. Tapi mereka semua tidak di sini. Shaylene makin buntu, tidak tahu apa yang semestinya dia katakan kali ini. Gadis itu lantas mengenggam bros bunga biru yang tersemat di depan dadanya, meremasnya perlahan seakan ingin menjelaskan bahwa dia gugup.