Shaylene Glory's View
Aku seketika membeku begitu memperhatikan sepasang bola mata birunya yang cerah dan selalu mengingatkanku pada warna langit biru pada musim yang cerah, dia menatapku dengan tatapan asing seakan dirinya sama sekali tidak mengenaliku. Apakah dia benar-benar Logan? Tapi kenapa justru dia tidak tahu aku—dan kenapa dia ada dibumi? Apakah ratu Everence ikut mengutuknya.... juga. Astaga. Tidak mungkin, kan. Itu tidak mungkin bisa terjadi. "Kau siapa? Dan kenapa kau memanggilku Logan?" tanyanya lagi mengerutkan kening, aku mengigit bagian bawah bibirku dan aku yakin pasti meninggalkan bekas gigiku di sana.
"Aku dimana? Astaga! Apa aku tertidur di danau? "dia terlihat kalut seolah baru saja melupakan sesuatu. Aku meneguk ludahku sendiri, apa ini? "Yah, terimakasih sudah membangunkanku. Aku berhutang budi padamu dan sekarang aku harus pergi." Dia langsung beranjak bangkit dari posisinya yang semula bersandar pada batang pohon. Aku masih tetap bersikukuh menatapnya bingung, penuh pertanyaan.
"Tunggu!"aku berteriak, pria itu terlihat begitu terburu-buru sekali seakan dirinya sedang dikejar oleh waktu. Dia berlari menghilang dari pandanganku.
Aku meremas jari-jari tanganku lantas menunduk, memperhatikan sesuatu yang tertinggal di tempat di mana pria itu duduk. Sapu tangan. Sapu tangan dengan ukiran nama di bagian pojok kanan paling bawah, sapu tangan berwarna biru—seperti warna bola matanya. Ya, setahuku biru adalah warna kesukaannya karena dia mengatakan bahwa biru melambangkan kekuatan, kesetiaan dan kemuliaan seseorang. Cocok seperti dirinya. Aku membaca nama itu. Josh Javier. Apakah itu namanya?
"Apakah kau akan terus berdiam diri di situ, monkey?" Aku mendengar suara Justin yang sejak tadi memperhatikanku di belakang. Aku menoleh, memutar tatapanku ke arahnya dan melihat dia sedang melipat tangannya di depan dada sembari memainkan sepasang alis tebalnya saat menatapku. Aku mendesah, menatap kecewa kearah sapu tangan yang sekarang ada dalam genggamanku. Logan... dia sangat mirip seperti Logan, aku tidak mungkin salah lihat. Dia pasti Logan. Tapi kenapa dia justru tidak mengenalku dan tentang namanya.... Josh Javier.
"Justin—" aku memanggil namanya sekali, dia berdeham dingin sembari tatapannya memperhatikan danau yang ada di hadapannya. Danau dengan permukaan air berwarna hijau tenang, terlihat begitu damai dan tenang. "Boleh aku bertanya sesuatu?" tanyaku lagi. "Uhm-hm," sahutnya. Aku menghela nafasku lagi, mendadak benakku kini berputar membayangkan Logan. Satu-satunya pria yang pertama kali menarik perhatianku di Istana langit. Dia yang menjadi sahabatku bersama Laurence di sana. Logan yang selalu menemaniku, dia yang selalu meminjamkan bahunya untukku.
"Jika ada seorang gadis yang mencintaimu dan kau juga mencintainya, tapi tiba-tiba sang gadis dijebak melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Apa kau tetap percaya bahwa gadis itu tidak bersalah?" tanyaku mendongkak, menatap sepasang bola mata karamelnya yang berpendar seperti madu dan campuran gerusan emas murni berkarat. Dia akhirnya menatapku. "Tentu saja ya," jawabnya tegas. Aku mengangguk lagi sembari mengusap sapu tangan milik pria tadi.
"Itu artinya, jika kau mencintai seorang gadis dan melihat gadis itu sedang menderita. Apa kau rela untuk mengggantikan posisinya? Menemani gadis itu agar tidak lagi merasa tersiksa.... Seperti mengorbankan dirimu sendiri?" Justin mengernyit, menatapku dengan ekspresi aneh lantas tertawa mencibir.
"Apa kau bodoh? Tentu saja tidak! untuk apa aku membuang waktuku untuk itu? dan kenapa tiba-tiba kau menjadi seorang gadis yang sok dramatis dan melankolis seperti ini, dasar monkey." Oh sial. Lihat, betapa menyebalkan sosok pria didepanku sekarang. Apa dia sama sekali tidak bisa bersikap manis di hadapanku?!
"Aku sedang serius!"
"Really?" Aku mendengus, menatapnya dengan tatapan tajam. Sialan. Sepertinya dia akan selalu mengganggapku sedang bermain-main, bercanda atau melempar perkataan konyol didepannya. "Sepertinya aku salah sudah bertanya dengan pria tidak punya ekspresi sepertimu. Yah, kau kan tidak punya hati jadi tidak bisa merasakan cinta," cetusku tiba-tiba. Justin langsung memiringkan wajahnya menatapku. Aku mendengus kesal, dia mengangguk lagi.