Chapter 6

1.2K 56 0
                                    

Justin masih memperhatikan Shaylene yang tertidur di hadapannya, gadis itu memang mengalami hang over akibat terlalu banyak mengonsumsi alkohol. Pria itu menarik selimut dan membiarkan gadis itu untuk memejamkan mata dengan pulas. Benak Justin masih sibuk berpikir.... Tentang kata-katanya tadi. Istana langit? Apakah gadis itu memang seorang peri yang dikutuk, seperti perkataannya. Apa itu benar. Tidak. itu sulit dipercaya. Apakah dijaman sekarang masih ada cerita dongeng sejenis itu? Tidak mungkin. Justin menggelengkan kepalanya lagi merasa sulit mempercayainya namun di sisi lain tidak dapat membendung rasa penasaran, mungkin cara paling baik adalah membiarkan gadis itu untuk pergi dari rumahnya.

Pria itu mengusap pipi Shaylene yang terasa hangat dan masih tampak memerah lantas merasakan kelopak matanya ingin terpejam. Justin naik ke atas ranjangnya dan membaringkan tubuh disebelah Shaylene, bola mata karamelnya beralih memperhatikan setiap senti wajah gadis itu. Matanya yang terpejam, hidung mancungnya dan bibir tipis yang meliuk. Jari Justin naik, mengusap bibir Shaylene, masih bisa membayangkan bagaimana bibir itu mengecupnya tadi. Ada rasa lembut dan lembab yang justru masih terasa hangatnya hingga sekarang menciptakan suatu gelenyar aneh dalam dirinya.

"Idiot, gadis idiot," maki Justin menarik senyum tipis membayangkan kelakuan konyol Shaylene. Dia tidak habis pikir, bagaimana bisa bertemu dengan wanita sedemikian anehnya. Ya, seperti manusia yang memang berasal dari jaman batu berabad tahun yang belum mengenal semua perabotan modern. Itu mustahil, dan terlebih dia tinggal di New York, di mana semuanya serba canggih sementara seorang Shaylene bahkan tidaktahu bagaimana menggunakan mesin cuci dan setiap detiknya selalu mengucapkan nama Ratu Everence, istana langit atau.... Berkaitan dengan peri. Apakah ada kesalahan dalam berpikir diotaknya?

Dia menyisingkan helaian rambut cokelat yang menempel di permukaannya, hingga dia bisa menatap wajah itu lebih jelas. Lagi, dia merasakan detak jantungnya berdebar, bertalu-talu seperti bunyi gong yang terus bertabuh membuatnya sulit untuk mengontrol atau mengendalikan diri sendiri. Tidak seaneh ini. Seorang Justin Bieber jarang merasakan hal ini, apakah ini adalah suatu proses alamiah yang biasa atau memang suatu pengaruh dari kontradiksi keberadaan Shaylene di dekatnya. Astaga. Pria itu menggelengkan kepalanya lagi, mengutuk dirinya sendiri yang bisa-bisanya tergoda dengan gadis seperti Shaylene.

Gadis itu nyaris menyerupai voldemort dengan tampang jelek dan menyebalkan. "Benar-benar gadis aneh, kau tahu?!" dengus Justin memperhatikan Shaylene lagi, dia menarik tubuhnya menyamping hingga wajahnya berhadapan dengan jelas menatap sepasang kelopak mata indah yang terpejam itu. Well, jika mungkin di hadapannya sekarang adalah Sheren—mungkin Justin akan merasa ini adalah pengalaman paling bahagia. Dia akan memeluk tubuh Sheren erat-erat, menarik kepala gadis itu berada di dekapannya. Justin menarik senyum tipis. Shaylene adalah gadis pertama yang benar-benar bisa membuatnya tertawa, membuat seorang Justin Bieber seakan merasa luluh dengannya. Tidak. Lupakan itu, man. Batin Justin seakan berbisik. Pria itu kembali menghembuskan nafas, berusaha mengendalikan degup jantungnya lantas mendadak melihat satu tangan Shaylene beranjak memeluknya.

Gadis itu masih terjaga dari tidur. Masih tampak pulas, Justin menatap wajahnya yang terlihat damai mengingatkan Justin pada ekspresi wanita-wanita polos—masih suci, dan tidak menggambarkan bagaimana sifat seorang Shaylene sebenarnya. Konyol, idiot, menjengkelkan. Justin kembali mengusap pipi gadis itu dengan jari-jari tangannya hingga dalam waktu semenit ke depan, dia akhirnya menutup mata. Ikut tertidur dengan satu lengan memeluk punggung Shaylene.

Shaylene Glory's View

Suara burung yang bersiul dan cahaya yang samar-samar menyelinap masuk ke dalam kelopak mataku seakan berhasil membangunkanku dari tidur yang terasa begitu pulas. Aku juga heran, kenapa semalam aku merasa benar-benar terlelap bahkan nyaris memastikan aku tidak dapat lagi membuka mata. Aku menguap, merasakan kepalaku berdenyut dengan keras seakan ada satu palu besar yang memukul bagian ubun-ubunku. Aku mengerjapkan kelopak mataku dan mendadak melihat ilusi. Seorang pria tampan yang tertidur, aku mengerjapkan bola mataku berharap agar bayangan itu menghilang, fokus yang semula buram dan tidak jelas kini perlahan-lahan terlihat.

The Law (By Erisca Febriani)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang