8. who?

13 7 0
                                    

Hari ini aku hanya tiduran di atas kasur. Rasanya tubuhku tidak bertenaga sama sekali, kepalaku pusing dan lidahku terasa pahit, tenggorokanku pun juga sakit. Kata Nora, aku sedang demam. Jadi sekarang di dahiku diberi kain kompres oleh Nora tadi.

Ini ada tujuh hari setelah datangnya tuan Dean kemari pada waktu itu. Jika ku ingat-ingat lagi, kata tuan Dean informan terakhir yang di kirim ke sini terbunuh dengan tubuh termutilasi saat sedang keadaan pulang, kan? Itu mengerikan. Aku bahkan belum melupakan mimpiku yang mati dengan kepala terlepas itu, aku menggeliat geli.

Beberapa saat kemudian, Nora datang membawa sup yang masih mengepul. Ah, entah kenapa aku tidak berselera.

"Ayo makan sup hangat dulu, tuan putri." Nora duduk di sampingku dan meletakkan mangkok sup itu dimeja samping kasurku.

Aku mengintipnya dari balik selimut lalu menggeleng pelan, "Tidak mau. Pusing," Tolak ku dengan suara serak.

Nora tidak mendengarkan ku, dia tetap mengambil mangkuk sup tersebut dan membuka selimut ku perlahan lalu mengulas senyum lembut. Ah, aku lemah jika Nora sudah tersenyum begitu, akhirnya aku bangkit dan duduk dengan bersandar ke bantal. Sungguh, kepalaku pusing dan rasanya nyut-nyutan. Aku membuka mulut saat satu suap di berikan oleh Nora. Rasanya tidak berubah. Buka kah biasanya kalau demam maka segala makanan akan menjadi hambar? Tapi ini tidak, rasanya tidak berubah. Nora memang bisa di andalkan dalam hal memasak, suasana hati ku naik seketika.

Beberapa saat kemudian, setelah sup nya habis, Nora langsung keluar kamar dan menyuruhku untuk tertidur. Entah kenapa setelah Nora keluar, rasa pusingku kembali lagi. Yah, sepertinya benar kata Nora, aku harus tidur.

Aku memejamkan mata dan berusaha jatuh ke dalan mimpi, ku tutup erat mataku berharap aku cepat tidur dan rasa pusingku hilang. Namun tidak bisa, sesuatu mulai terbayang-bayang di benakku. Firasatku jadi tidak enak, dan alhasil aku membuka kembali.

Aku mengambil posisi duduk dan menoleh ke arah jendela yang menampakkan pemandangan malam. Namun bukan itu, adakah orang di sini selain aku dan Nora? Di kastil ini?

Mataku menyipit menatap gorden jendela kamarku, sebuah siluet bayangan seseorang tampak berdiri di balik gorden kamar. Siapa? Aku menyipitkan mata, berharap itu hanya sebuah halusinasi, namun tetap saja siluet tersebut tidak hilang.

Dengan pelan, aku membuka laci meja dan mengambil sebuah belati kecil dari sana lalu beranjak dari tempat tidur. Sejujurnya, kepalaku belum baik-baik saja. Rasa pusing masih menjalar dan membuat langkah ku oleng, namun apapun itu, aku masih was was juka ada yang berniat buruk padaku di tempat terpencil seperti ini. Bagaimana jika aku mati dan tidak ada seorangpun yang tau aku di sini?

Dengan cepat, aku menerjang tubuh pria itu hingga terjatuh ke balkon kamar dengan posisi aku di atasnya. Belati yang aku bawa kugunakan untuk menahan lehernya.

Sejenak, mataku menyipit saat melihat tampang asing itu.

"Tuan putri?"

Aku mengernyit, dia tau aku?

Sedangkan pria itu terdiam di tempat dengan menatapku, raut wajahnya sedikit terkejut. Namun aku dapat melihat dia yang berusaha menutupi keterkejutannya.

Raut wajahku kembali normal, lalu aku bangun dari posisiku dan agak menjauh darinya. Tubuhku sedikit oleng sebab rasa pusing, namun tak mengurangi rasa waspada ku. Aku terdiam mengingat-ingat sesuatu. Sepertinya beberapa hari yang lalu saat tuan Dean kemari, beliau juga menyebutkan nama Helter. Mungkin kah orang ini yang di maksud?

"Siapa?"

Pria—yang aku tebak adalah Helter— membungkuk hormat padaku, ah astaga... Sudah lama aku tidak melihat seseorang seperti itu padaku. "Saya Helter, assassin yang di perintahkan Baginda Kaisar terdahulu untuk mengawasi anda sejak dulu."

Aku menghela nafas, ternyata benar. Kalau di lihat-lihat, Helter memiliki tubuh yang tinggi dan besar. Mimik wajahnya datar namun tetap memiliki wibawa, sepertinya dia orang yang konsisten mengetahui bahwa dia mengawasi ku dari sembilan tahun lalu (?) dan dilihat-lihat dia lumayan tampan.

Aku memiringkan kepala dan menatapnya, "Aku tidak pernah melihatmu?"

Matanya yang awalnya melihat kebawah kini terangkat menatapku, "Saya mengawasi anda dari kejauhan," Jawabnya singkat. Ternyata dia orang yang cukup dingin ya.

Ini pertemuan pertamaku dengannya, namun aku malah memberikan kesan pertama yang jelek karena sempat menyerangnya tadi. Ah aku malu.

"Maafkan aku untuk tadi, ya." Ucapku setulus hati. Dia hanya mengangguk dan kembali membungkuk padaku, sebelum akhirnya dia meminta ijin untuk kembali melakukan tugasnya.

Aku kembali ke kasur dan berbaring, namun tidak langsung tidur. Dari sudut mataku, aku melirik Helter. Selama ini dia mengawasiku daru mana? Sejauh apapun dia mengawasi, kalau terlalu jauh dariku sama saja dia tidak bisa mengawasi, kan?

Yah, setidaknya aku sudah bertemu dengannya.

Yah, setidaknya aku sudah bertemu dengannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

/

//


Beberapa hari kemudian, seperti hari-hari biasa aku tidak melakukan apapun kecuali makan, membaca buku, dan tidur. Suntuk? Iya. Aku bosan sekali. Apalagi Nora juga tidak ada di kastil, sejak tadi pagi dia keluar dari kastil dengan alasan mencari kayu bakar. Saat aku ingin ikut, dia tidak memperbolehkan ku. Saat ini aku memutuskan untuk keluar kastil dan pergi ke ayunan. Terik sinar panas rasanya menyengat ke kulit walaupun matahari tak nampak di tempat ini. Itu yang aku herankan sejak dulu, kenapa matahari tidak terlihat di sini dari pagi sampai malam? Padahal sinarnya ada dan terasa hangat, bukan hanya pagi hari, saat malam hari pun bintang maupun bulan juga tidak terlihat sama sekali.

Ah, aku jadi teringat kejadian tadi malam saat bertemu denvan Helter. Setelah beberapa hari yang lalu, aku tidak bertemu lagi dengannya hingga saat ini. Padahal jika di hitung sudah sekitar empat hari dari terakhir kali aku bertemu dengannya. Bahkan di malam hari pun, dia tidak menampakkan diri seperti sebelumnya.

Aku menghela nafas panjang, "Bosan sekali," lirihku.

Karena kastil yang aku tinggali ini berada di bukit paling tinggi, aku bisa melihat hamparan hutan hingga kejauhan sana. Kalau di pikir-pikir, pemandangan nya indah juga walaupun saat malam terasa mencekam.

Aku menyatukan kedua alis heran, "Kastil ini termasuk tanah Seraphine atau tidak, ya?"

"Tuan putri?"

Aku menoleh dan mendapati Nora yang datang menghampiri ku, tapi kenapa tidak ada kayu kering di gendong nya? Apa mungkin dia pergi bukan untuk mencari kayu bakar?

"Kamu lama sekali,"

Nora terkekeh dan mengucapkan maaf, lalu duduk di bawahku, tepatnya di rerumputan. Melihat itu, aku pun ikut duduk di samping Nora. "Maaf ya, tuan putri. Ada sesuatu yang harus saya lakukan tadi."

Aku menaikkan sebelas alisku dan menatapnya curiga. Bagaimana tidak? Nora selalu menyembunyikan sesuatu dariku. Kalau aku tebak, sekarang ini dia juga pasti sedang menyimpan banyak rahasia. Yah, mau bagaimana pun Nora melakukan itu juga pasti demi aku, kan.

Seraphine CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang