9.2 Semangat kerja

160 15 1
                                    

"HARRESSS!"

"IYA MAS, IYA BENTAR!"

Harris berdecak ketika sekali lagi suara Lino terdengar dari lantai satu, memanggil namanya dengan nada tinggi. Padahal dia sendiri sedang riweuh mondar mandir keliling kamar, bingung mencari letak karet kuncirnya sambil menahan bagian rambut yang akan diikat dengan jari telunjuk dan jempolnya.

"Duh, mana sih?" Sudah biasa, kehilangan karet kuncir sesaat setelah berpakaian rapi adalah ritual wajib Yudhistira Harris sebelum pergi kemanapun.

Membuka lacinya untuk kesekian kali, tetapi nihilnya karet kuncir berdiameter kurang dari dua milimeter miliknya itu tetap tidak ada disana. Cowok itu kembali uring uringan meneliti setiap sudut meja, mencari benda kecil yang tak kunjung ketemu itu, padahal dibawah sana Lino sedang menunggunya untuk berangkat musyawarah bersama.

Harusnya jika menurut rencana awal kemarin, Harris berangkat dengan Saka. Namun sepulangnya dari kampus setengah jam lalu, dia diberi tahu kalau Saka sudah lebih dulu berangkat dan mengharuskannya pergi ke balai komplek bersama Lino yang juga baru tiba di kos beberapa saat sebelum Harris.

"WOI KIPLI."

Harris menoleh cepat kearah pintu dimana Lino tahu tahu muncul sambil menggenggam ponselnya.

"Cepetan nyet, udah mau jam dua. Ini gue udah diteleponin mulu sama Bama! Lo kalau lama gue tinggal, serius."

"Sabar dulu kenapa sih? Ini kuncir rambut gue nggak ketemu!"

"Alah anjing, lama lama gue botakin lo, tiap mau kemana mana ribut karet kuncir mulu!"

Lino menyingkir dari daun pintu, meninggalkan Harris yang masih bingung mencari karet. Tak sampai semenit kemudian, Lino kembali dengan seutas karet gelang bekas nasi goreng yang entah didapatnya darimana dan langsung dilemparnya kepada si gondrong.

"Nyoh, pake cepetan! Gue tunggu di garasi. Setengah menit ga turun gue ajuin tambahan tugas buat lo."

"LAH JANGAN ANJIR!"

Harris langsung mengikat rambutnya dengan karet pemberian Lino walaupun artinya harus rela kulit kepalanya terasa tidak nyaman seolah dijambak karena bahan karet yang tidak cocok berkontak dengan rambut. Setelahnya, dia segera turun ke garasi setelah hampir lupa menutup rapat pintu kamarnya.

Di garasi, Lino sudah memanaskan scoopy putihnya untuk mereka berdua naiki berboncengan menuju balai komplek yang padahal jaraknya tidak lebih dari empat ratus meter dari rumah kos. Alasannya karena cuaca Surabaya yang sedang panas panasnya saat ini mencapai 36° celsius meskipun di pertengahan musim hujan, membuat duo mager ini ogah berjalan dibawah terik.

Dua menit mengendarai motor, sampailah mereka di pelataran sebuah gedung satu lantai dengan pendopo di depannya. Karena sistem lingkungan tempat rumah kos berada adalah komplek, maka pusat pemerintahannya ada di balai ini, diketuai oleh seorang ketua komplek dan perangkatnya.

Beres memarkir motor, mereka berdua lantas masuk kedalam gedung dan mencari ruangan serbaguna yang memang disediakan untuk melakukan rapat atau musyawarah oleh organisasi komplek.

"Permisi."

Atensi seisi ruangan langsung berpusat kepada Harris dan Lino ketika keduanya masuk. Satu hal yang Harris sadari begitu masuk selain hawa dingin AC adalah tatapan tajam dari Saka yang duduk di barisan koordinator, seperti menuntut alasannya baru datang di menit terakhir sebelum dimulainya rapat.

"Cek, satu dua."

Suara berdengung dari mikrofon memenuhi ruangan.

"Oke, Harris sama Mas Lino udah datang, berarti tinggal satu orang yang belum, ya. PJ konsumsi jamaah perempuan."

404 PAGE NOT FOUND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang