6 Sampai sentosa

159 23 0
                                    

"MAS Lino, punya tukeran duit kecil nggak?"

Harris menghampiri Lino yang tengah sibuk memandikan kucingnya di teras. Membuat cowok bersurai legam yang sedang berjongkok dengan tangan penuh busa itu berdecak kesal.

"Lo lihat nggak sih gue lagi ribet begini? Pengertian kek," Lino menautkan alisnya dan mendengus, sambil masih menggosok bagian tubuh Doma, kucing tabby abu abu miliknya dengan penuh kasih sayang. "Butuh berapa lo?"

Si cowok gondrong akhirnya menyengir atas respon positif Lino, walaupun tadi sudah sempat ingin menyerapah, "Gocap. Dua puluhan selembar, sisanya sepuluh ribuan. Ada nggak?"

"GOCAP TUH BERAPA TOLOL, GUE GAK NGERTI! Bisa gak sih kalau ngomongin duit sama gue pakai angka biasa aja?"

"Debt collector mana yang nggak paham gocap ceban?"

"Ngomong apa lo?"

"Lima puluh ribu, Mas."

Senyum Harris melebar saat Lino bangkit untuk berdiri, yang tanpa dia duga sebelumnya malah menyodorkan pinggul, masih dengan tangan yang penuh dengan busa shampo khusus kucing beraroma stoberi, "Ambil nih di saku celana gue, ada sisa kembalian tadi habis beli wetfood. Awas kalau lo ambil lebih, gue masukin ke buku besar."

"Iye, elah." Harris jelas tahu apa yang dimaksud Lino dengan 'buku besar'. Yakni buku kwarto milik cowok bergigi kelinci itu yang isinya adalah daftar nama penghutang dan nominalnya. Bukannya pelit, kata Lino ini adalah upayanya buat menyelamatkan teman temannya dari siksa kubur akibat hutang yang tidak terbayar.

Harris merogoh saku bagian belakang celana pendek Lino dengan hati hati, takut takut kalau malah tidak sengaja terpegang bagian yang tidak seharusnya dipegang olehnya.

Setelah tangan Harris menemukan segulung uang kertas didalam sana, segera ditariknya keluar. Menghitung jumlahnya, lalu mengembalikan sisanya kedalam saku Lino beserta uang lima puluh ribu miliknya.

"Sip, makasih, Mas!"

"Mau kemana lo?" Lino kembali berjongkok untuk melanjutkan kegiatannya yang tadi tertunda.

"Ke Teh Minah, ambil laundry."

"Eh, kalau gitu sekalian titip garam di toko Bu Ratih, dari kemarin si Abin gue suruh beli ntar ntar mulu jawabannya, ujung ujungnya lupa." Lino kembali berdiri.

"Nih, ambil lagi sepuluh rebu."

Mau bilang malas pun Lino sudah terlanjur menyodorkan bokong, jadi mau tak mau Harris menurut. Menarik lagi selembar uang berwarna ungu dari saku celana cowok itu.

"Terus, sama terasi deh, yang rencengan. Beli tiga aja. paling garam empat ribu, terasinya seribu setengah per pisis. Masih ada kembalian cukup tuh beli milkita."

Harris menghela nafas, "Udah jangan banyak banyak. Tangan gue cuma dua."

"Dih, lebay. Garam sama terasi doang nggak nyampe sekilo beratnya. Kudu dapet. Nggak ada garam nggak makan lo pada malem ini."

"Iya iya, bawel." Si gondrong menggerutu sambil berjalan menjauh melewati gerbang lalu berbelok ke kiri menuju jalan tembusan untuk akses ke gang sebelah diujung barat gang ini.

Jarak antara kos dan rumah cuci tidak begitu jauh. Letaknya ada di gang sebelah yang total kurang lebih empat ratus meter, sekitar lima menit jalan kaki. Lumayan, hitung hitung jalan sore.

Hampir setengah tahun berada di lingkungan ini, Harris sudah lumayan akrab dengan para tetangga di sekitar rumah kosnya. Warga komplek pun juga sudah mengenal Harris dan teman temannya sebagai 'anak kos Oma Fatma' yang sering menjadi bahan rebutan sebagai kandidat menantu ibu ibu di gerobak belanja subuh. Tak heran sepanjang perjalanannya menuju rumah cuci, bibir Harris terus menyunggingkan senyum sebagai respon positif dari sapaan setiap orang yang menyapanya.

404 PAGE NOT FOUND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang