14.2 Lampu hijau

161 20 4
                                    

SETELAH lelah berjam jam membuat kue (yang sebenarnya cuma kegiatan cicip sana cicip sini) bersama Gayatri alias 'uti' barunya, Sadewa tidur siang. Bocah itu terlihat nyenyak tidur di sofa ruang tengah, dengan banyak bantal yang diletakkan Yesicha di sana sini sisi tubuhnya supaya tidak terjatuh mengingat diameter sofa kurang dari satu meter.

Akhirnya, pekerjaan Sadewa sebelumnya digantikan oleh Yesicha yang sekarang duduk di meja makan, menemani bundanya yang masih dengan luwesnya membuat kue kering pesanan sambil memakan beberapa yang agak gosong. Satu satunya tugas yang Yesicha mahir lakukan dalam hal bake and cooking.

Tentu bukan cuma duduk dan makan, seperti biasa Yesicha juga membuka sesi podcast dengan sang bunda, mengobrolkan topik apapun yang dirasa menarik untuk dibahas.

"Asa itu lucu banget ya, Cha," Ungkap Gayatri sambil mengoles permukaan kue nastar dengan putih telur, "Bunda jadi keingetan Ayis pas kecil."

Yesicha menunjukkan wajah anehnya, "Ih, mana bisa disamain sama Ayis? Ayis pas kecil rembes gitu," Ujarnya dengan nada mengejek, "Tapi emang bener loh, Nda. Asa ganteng gitu soalnya mamanya juga cantik banget! Mirip Tatjana Saphira. Icha aja yang sama sama cewek kayak, gila."

Gayatri terkikik atas antusiasme putrinya. Kalau Yesicha sudah memuji orang sampai segininya, berarti orang itu memenuhi standar Yesicha, yang artinya benar benar cantik.

"Mamanya Asa itu kakaknya Wira?" Kali ini Gayatri bergerak untuk memasukkan senampan adonan nastar siap panggang kedalam oven, "Berarti Wira juga ganteng, dong? Pantesan kamu hype banget gitu."

Yesicha mengangguk bangga, "Tunggu sampai Bunda ketemu langsung sama orangnya. Bunda bakal terkesima sama attitude-nya. Dijamin bakal langsung kasih restu, deh."

Serampung mengatur waktu pada oven dan memastikan benda itu menyala dengan suhu yang pas, Gayatri kembali duduk. Menyimak curhatan putrinya dengan lebih intens, "Terus si Sanu gimana?" 

"Gimana apanya?"

Mata Gayatri menyipit jahil, "Mau kamu kemanain?"

"Ih, Bunda mah. Sanu kan sahabat Icha, he'll always be on my side. Dia mah udah tahu jelek jeleknya Icha, bobroknya Icha. Mana mau dia sama aku," Yesicha melambaikan tangannya remeh. 

Memang benar sih, Sanu adalah sahabat terdekat Yesicha selain Rara dan Lia. Bahkan yang paling sering berinteraksi dengannya karena berada di satu jurusan. Saking dekatnya, Yesicha bahkan sama sekali tak sungkan untuk mengupil dan kentut didepan cowok berlesung pipi itu. Terkadang, Yesicha lebih menganggap Sanu sebagai saudara daripada kembaran aslinya. "Nanti kalau Icha nikah sama Kak Wira yang gandeng Icha ke hall maunya Sanu aja, nggak mau Ayis. Bau."

Gayatri mencibir, "Apaan udah bahas nikah nikah, tahu Wira suka kamu balik apa enggak aja belum."

Oke, kalimat bundanya barusan berhasil membungkam Yesicha. Dirinya seperti ditampar oleh fakta tak terelakkan yang bahkan untuk memikirkannya saja Yesicha malas.

"Ih Bunda mah, doain makanya."

Obrolan mereka berlanjut hingga beberapa jam kedepan, sampai tepat ketika Gayatri mengeluarkan nampan nastar terakhir dari oven, suara khas bangun tidur Sadewa terdengar.

"Aunty? Uti?" Bocah itu rupanya baru bangun. Sadewa berjalan mendekat sambil mengucek kedua matanya yang bahkan belum terbuka sepenuhnya.

Gayatri mengangkat tubuh mungil Sadewa ke pangkuannya, "Wih anak ganteng udah bangun. Nyenyak tidurnya?"

Sadewa mengangguk, "Iya, Uti." Bocah itu lantas menatap Yesicha dengan pandangan agak sendu, "Asa mau ke Mama."

Benar, hal yang kebanyakan anak kecil lakukan saat baru bangun dari tidur siang adalah mencari ibunya. Entah kenapa, tetapi seperti rasanya muncul secara alamiah. Bahkan Yesicha pun juga seperti itu dulu saat masih seumuran Sadewa. Dia masih ingat sensasi gelisah ketika tak melihat presensi bundanya saat membuka mata.

404 PAGE NOT FOUND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang