14.3 A plan

165 21 12
                                    

PADAHAL malam minggu sudah lewat kemarin, tapi jalanan Surabaya seolah tidak ada matinya. Suara klakson dan mesin kendaraan membaur dengan udara. Lampu jalanan dan cahaya dari gedung gedung pencakar langit meramaikan suasana.

Namun lain di jalan, lain lagi Wira dan Yesicha. Mereka sudah berboncengan sepanjang lima kilometer dalam sepuluh menit terakhir, namun tidak ada konversasi yang terbentuk sama sekali diantara keduanya.

Yesicha duduk dalam kegelisahan yang nyata. Suasana canggung seperti ini sangat tidak cocok untuk lidahnya yang terbiasa mengoceh. Bukannya Yesicha sedang bad mood atau apa, dia hanya tidak mau mengganggu Wira yang sedang fokus menyetir.

Entahlah, Yesicha menyadari dirinya seperti berganti kepribadian setiap kali berada didekat Wira. Meski terkadang dia secara impulsif tetap melontarkan candaan garing dan sesekali asal bicara, tetap saja tidak akan sebebas seperti berinteraksi dengan Sanu atau teman temannya. Seolah Yesicha harus agak menjaga sikap untuk melindungi image-nya di hadapan Wira.

Seperti sekarang ini, Yesicha hanya diam sambil memandangi punggung lebar Wira yang terbalut jaket, meskipun dia ingin sekali bersandar disana. Keramaian jalanan tidak akan tahu pikiran liar didalam otak Yesicha yang membayangkan bagaimana rasanya memeluk punggung Wira manja sambil menikmati angin malam, berboncengan ala novel dan drama romansa. Agak merasa berdosa sih dengan memikirkannya, tapi masa bodoh lah. Lagipula pikiran kan privasi, seliar apapun adegan yang dipikirkan Yesicha sama sekali tidak melanggar norma.

Entah berapa lama bergelut dengan pemikiran liarnya, tahu tahu motor Wira berhenti. Sebelum Yesicha menyadari kalau mereka berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah, punggung Wira yang tadinya agak membungkuk saat menyetir tiba tiba menegak. Pun dengan tubuh Yesicha yang spontan menegang karena pergerakan tiba tiba Wira. Wangi parfum cowok itu menguar seiring pergerakannya, aroma kombinasi buah pir dan teh hijau yang segar menyapa indera penciuman Yesicha.

"Dingin, Cha?"

Suara Wira terdengar samar dari balik helm yang menutupi setengah wajahnya. Dia sedikit menoleh meskipun pengelihatannya tidak menjangkau Yesicha yang duduk dibelakangnya.

"Hah?"

Padahal Yesicha mendengar kalimat Wira dengan jelas, tetapi hanya 'hah' yang mampu keluar dari bibirnya saat ini.

Wira tertawa kecil, "Anginnya. Dingin nggak?" Ulangnya lagi.

Yesicha sendiri menggeleng cepat didalam helmnya yang longgar, "Enggak, Kak. Biasa aja ini mah, kayak kena kipas angin."

"Kalau kedinginan bilang aja, barangkali gue bawa motornya kekencengan, biar gue kurangi kecepatannya."

"Kirain mau bilang kalau kedinginan boleh peluk aja, gitu."

"Boleh sih kalau mau."

Sumpah. Rasanya Yesicha ingin meleleh ke jalan raya. Kalimat sederhana penuh perhatian yang Wira lontarkan menghangatkan hati Yesicha. Bisa bisanya cowok ini membawa gebrakan baru tiap kali mereka berinteraksi. Seperti karisma Wira itu tidak ada habisnya. Kalau saja rasa malu itu mitos, Yesicha ingin memutar Akad oleh Payung Teduh sambil berdiri di jok motor sambil berteriak gila sekarang juga.

"Jangan ah, takut betah."

Setelah tawa renyah dari keduanya, lampu lalu lintas berubah hijau. Motor kembali melaju diiringi klakson klakson berisik dari pengendara yang tidak sabaran untuk segera keluar dari zona lampu lalu lintas.

"Lo itu gamblang ya. Kayak nggak punya gengsi. Bebas banget," Suara Wira terdengar lagi saat jalan raya agak lenggang. Meski jalanan masih cukup ramai, Wira tidak tahan dengan segala keheningan tadi.

404 PAGE NOT FOUND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang