7D1A | 37

193 11 0
                                    

Lorenzo's past II
— still no Malay ar . maybe :v

Mendengar suara nyaring itu, Lorenzo tidak mampu berdiam diri. Beberapa kali dia mendengar suara ibunya seakan merayu dan menjerit. Makin kuat tangannya menekup telinga.

Bang!

Sepi.

Keadaan tiba-tiba menjadi senyap setelah satu tembakan berlalu. Lorenzo yang menyangka segalanya telah berakhir, menjatuhkan tangannya dan kembali memeluk lutut. Dia ingin menunggu kedatangan ibunya.

Lama. Lorenzo tetap bersabar, walau sudah setengah jam dia menunggu. Ibunya sudah berjanji akan kembali. Dan dia percaya akan janji itu.

Satu jam.

Satu jam dia menahan sabar. Perasaannya mulai memberontak, mendesaknya untuk keluar dari bilik itu. Terutama apabila bau minyak  memasuki deria baunya. Makin lama dirasakan ruang itu semakin panas.

Tidak mampu menahan rasa ingin tahu, Lorenzo mengangkat langkahnya dan berlari keluar dari bilik bawah tanah tersebut, menuju ke ruang tamu.

Langkah demi langkah, dirasakan makin hampir dengan tempat dituju. Suhu yang terasa bertambah panas makin mencengkam tubuhnya yang telah bermandikan peluh.

Langkahnya terhenti, berdiri benar-benar di hadapan ruang tamu. Lorenzo terpempan. Kaku melihat keadaan yang menghiasi pandangannya.

Darah.

Mayat.

Api.

Mata hazel itu tertumpu pada sesuatu.

Mamma. Papá.

Dua tubuh terbaring berdekatan itu dihampiri. Wajahnya sedikit berkerut. Tidak menangis sama sekali.

Lutut dijatuhkan. Lengan ibunya digoncang perlahan.

" Mamma. Svegliati. ( Wake up. ) "

" Mamma. " Dipanggil sekali lagi.

" Mamma... Mamma... "

Ulas bibir bawah digigit. Sedarlah dia bahawa ibunya telah pergi. Darah segar yang keluar dari tubuh ibunya melumuri tangannya. Lantas jari-jemari itu dikepal menjadi penumbuk. Api di sekitarnya diabaikan begitu saja.

" You said it's just a while... But you left me forever! " Lorenzo membentak. Tangannya naik memukul kepala sendiri beberapa kali. Dirinya tidak mampu menerima kenyataan.

Tubuh terkulai si bapa dipandang. Mata itu terbuka luas, dengan air mata yang bertakung. Tidak sempat menitis jatuh.

Tangan kecil Lorenzo meraup kedua mata bapanya, perlahan sehingga terkatup.

" Perché... ( Why... ) " Soalnya rintih. Kepala mulai mendongak ke atas, mempersoalkan takdir yang menimpa. Mengapa ibu bapanya harus pergi? Mengapa bukan dia? Mengapa perkara ini harus terjadi padanya? Mengapa penamatnya begini?

Tanpa sedar, Lorenzo menampar wajahnya sendiri tatkala terlalu banyak soalan menyerbu otaknya. Serabut, itu yang dirasakan di dalam kepala. Hati? Sudah tiada mungkin. Mati bersama kedua ibu bapanya.

Dikerling situasi sekeliling. Panas. Api marak memakan rumah keluarganya. Dia sudah tidak kisah. Terasa mungkin lebih baik dia mati bersama pada malam itu juga. Mata dipejam erat. Tiada langsung air mata yang mengalir untuk meratapi.

" Lorenzo! "

Kedengaran suara seseorang menyeru namanya, sebelum dia tidak sedarkan diri dek asap yang menebal.





7 DEMONS 1 ANGEL Where stories live. Discover now