7D1A | 35

239 7 0
                                    

Sepi. Hanya mata yang bertentang tajam, menikam pandangan antara satu sama lain. Lima minit berlalu. Tiada sepatah pun kata yang keluar dari bibir kedua pihak.

" Where's your boss? " Hafiy menyoal dengan suara yang tertahan. Bengis raut wajahnya tika ini. Lelaki berambut perang dengan wajah penuh luka di depannya dipandang bak pedang yang menghunus tajam.

" Late. Dia ada hal sikit. " Dengan berani Aldo membalas pandangan Hafiy.

Hafiy berdecit. " Boleh cakap bahasa Melayu rupanya. "

" Of course. We're educated. "

" Wanna say that we're stupid, you bastard? " Tangan Hafiy naik menggenggam penumbuk. Kakinya mengorak langkah ke hadapan, seakan mencabar Aldo untuk berdepan.

" Say that again. I didn't quite hear you. " Aldo juga mula mendekati Hafiy. Kedua-duanya sudah bersedia ingin melayangkan penumbuk.

" Oh, sorry. Never expect that you're deaf. " Bidas Hafiy sinis. Bibirnya mengoyak senyuman sinis menampakkan gigi taringnya.

" Hafiy. "

Sepatah perkataan dikeluarkan Hifzan, Hafiy terus mengatur langkah ke belakang untuk kembali duduk di sofa kulit yang disediakan. Matanya tak lekang daripada menatap wajah Aldo.

" Bad behaviour. "

Sikit lagi wajah Aldo ingin menjadi santapan penumbuk Hafiy. Jika Hafhiz tidak menghalang tadi, pasti berlaku pergaduhan di sini. Nasib baik Xayn tiada di sini, menjaga kedua ibu bapanya di rumah agam keluarga Grey. Kalau tidak, memang dia minta Xayn yang kirimkan penumbuknya.

Hifzan kerling adik-beradiknya. Semua pakat diam menerima jelingan daripada si abang sulung.

" Stop it Aldo. Your behavior brings down the image of Vitale family. " Suara garau itu menjadi tumpuan.

" Vitale? " Desas-desus mulai kedengaran.

Susuk seorang lelaki keluar dari satu ruangan, membawa aura gelap. Matanya yang berwarna hazel itu pantas menangkap setiap raut wajah yang berada di situ. Sehinggalah mata itu berjaya menangkap wajah seseorang yang pernah berada di masa silamnya.

" Lorenzo. Lorenzo Vitale. " Dia memperkenalkan diri. Senyuman terukir di bibir, menambah kekacakan yang tersedia ada. Pelbagai reaksi yang diterimanya. Terkejut, keliru, ragu-ragu. Raut wajah Hifzan yang tenang tidak menarik perhatiannya. Yang menjadi perhatian ialah raut wajah Heidi.

Mata kelabu itu terbeliak. Mulutnya melopong kecil. Wajahnya seakan muncul rasa kesal. Apabila Lorenzo menghadiahkan senyuman padanya, laju dia mengalihkan pandangan.

" Don't ignore me, Heidi. We used to be together. As a best friend, aren't we? " Suara Lorenzo kedengaran sarkastik. Dia melabuhkan duduk di sebelah Luiz. Tubuh santai, bersandar. Kaki kanan naik menyilang ke atas kaki kiri.

" What the hell are you talking? Where's Helena?! " Hafiy membentak. Meja kayu dihadapan menjadi tempat tapak tangannya mendarat melepaskan marah.

" Relax... We don't even harm her. "

Lorenzo mengangkat tangannya seakan memberi isyarat. Tak sampai setengah saat, seorang gadis muncul. Wajah berseri itu hanya menunduk, suram. Tiada senyuman terukir di bibir merah itu.

" Helena! " Hefzy, Habib dan Hafiy berlari anak mendapatkan gadis itu. Tubuh kecil itu berada dalam pelukan mereka bertiga. Bertalu-talu kucupan diberi di ubun kepala Helena. Tangan besar Hafiy menekup pipi Helena. Mata coklat terang itu ditenung lembut.

" Do they harm you? Tell me, precious. Even a finger they land on you, tell me. I'll make them burried themselves. " Serius Hafiy menyoal. Hefzy pula tak lepas dari tadi membelek tubuh adik perempuannya itu, takut terdapat sebarang luka mahupun lebam kecil. Pandangan yang memerhati mereka dibuat tak endah.

7 DEMONS 1 ANGEL Where stories live. Discover now