034

4.9K 385 82
                                    

Peringatan adegan kekerasan dan abusive parents
_________________________

Devon berjalan menyusuri gang kecil yang merupakan jalan lain menuju ke rumahnya setelah tadi Arson mengantarnya sampai di depan gang. Dia sengaja memilih rute ini, berbeda dari jalan utama yang bisa dilewati kendaraan, membiarkan Arson hanya mengetahui gang itu saja, dan tidak sampai melihat rumahnya.

Ketika sampai, Devon menghentikan langkahnya sejenak di depan pagar rumahnya, mengambil napas dalam-dalam. Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa hari dia kembali ke rumah ini. Kali ini, dia memilih untuk masuk melalui pintu depan, bukan jendela seperti yang selalu dia lakukan. Devon memejamkam mata, dia ingat saat dia meninggalkan rumah ini beberapa hari lalu, perasaannya masih sama, penuh dengan kecemasan dan ketakutan.

Dengan tangannya yang sedikit gemetar, Devon membuka pintu dan melangkah masuk. Aroma alkohol langsung tercium begitu dia masuk lebih dalam. Dia tahu apa artinya itu, jantungnya mulai berdebar kencang. Langkahnya terasa berat, tapi dia memaksa kakinya untuk terus bergerak.

Ketika Devon sampai di ruang tengah, pemandangan yang dilihatnya membuat darahnya berdesir. Disana ada ayahnya yang tengah duduk di sofa dengan botol minuman keras tergeletak di sekitarnya. Wajah ayahnya memerah, matanya setengah tertutup, tanda-tanda mabuk yang sudah sangat familiar dalam ingatannya. Devon merasa takut lebih dari melihat hantu. Tubuhnya serasa lemas dan semakin gemetar, plastik makanan pemberian Vico yang dia bawa sampai terjatuh ke lantai akibat tangannya yang mendadak kehilangan kekuatan.

Devon menahan napas ketika ayahnya menoleh dengan lambat, menatap Devon dengan mata yang memicing benci. "Oh udah pulang, ya?" suaranya serak dan menyiratkan perasaan tidak suka yang tergambar jelas.

Devon tidak bisa bergerak. Kakinya seolah-olah menempel di lantai. Dia tahu apa yang akan terjadi, tapi dia tidak bisa lari. Ketakutannya sudah menguasai dirinya.

"Kemana aja, hah?!" Ayahnya bangkit dari sofa, langkahnya gontai, tapi lurus menuju tempat Devon berdiri.

Insting tanda bahaya menyala dalam kepala, membuat Devon sedikit mundur. Namun, tidak cukup cepat karena tangan besar sang ayah sudah lebih dulu menjangkau lengannya, mencengkeramnya dengan kasar.

"A—Ayah, maaf..." Devon mencoba berbicara, tapi suaranya terlalu kecil karena rasa takut.

Ayahnya tidak mendengarkan, kemarahannya meledak.

"Berhari-hari gak pulang, saya kira kamu udah mati nyusul perempuan pelacur itu, tapi ternyata kamu masih hidup ya? Masih berani pulang ternyata" teriak ayahnya tepat dihadapan Devon.

Selanjutnya, kata-kata kasar keluar dari mulut sang ayah, disertai dengan tamparan berturut-turun yang mengenai wajah Devon, membuatnya sedikit terhuyung.

Devon hanya bisa menahan diri, tidak bisa berbuat banyak untuk lepas dari cengkeraman ayahnya. Air mata mengalir melewati pipinya yang bulat, tapi dia tahu tidak ada gunanya dia menangis.

Setelah beberapa saat, ayahnya akhirnya bosan. Dia melepaskan cengkeramannya dan kembali duduk di sofa, mengambil botol minuman keras yang tadi tergeletak. Tubuh Devon langsung jatuh terduduk di lantai ketika tangan besar sang ayah melepas cengkeraman pada lengannya. Kedua pipinya yang bulat tertutupi oleh warna merah yang menjalar rata disertai rasa panas akibat tamparan tangan ayahnya, telinganya sampai berdengung sakit karena terus menerima pukulan.

Devon berusaha bangkit, tapi kakinya terlalu lemas. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dia merangkak ke sudut ruangan, mencoba menjauh dari ayahnya. Pikiran Devon berkecamuk, tidak bisa lagi berpikir karena hanya ada rasa takut dalam kepalanya.

Ayahnya melihat gerakan Devon yang berusaha pergi. Matanya kembali memicing emosi. Dia bangkit dengan langkahnya yang gontai, membawa botol alhokol di tangannya.

"Akh—" Devon memekik ketika rambutnya ditarik, memaksa kepalanya untuk mendongak.

Ayahnya, tanpa berpikir lagi, memasukkan ujung botol yang dia bawa ke dalam mulut Devon, berusaha memaksa anak itu untuk menenggak alkohol tersebut. Devon gelagapan, cairan memabukkan itu mengalir masuk ke dalam tenggorokannya, membuat dia tersedak karena terlalu banyak yang ayahnya paksa untuk dia minum.

"Mmhh" Devon menggeleng. Ini alasan Devon selalu benci minuman setan itu. Karena setiap kali ayahnya mabuk, maka dia juga akan dipaksa merasakan minuman itu.

Devon berontak, tapi genggaman ayahnya terlalu kuat. Hampir setengah dari isi botol itu masuk ke dalam mulut Devon. Baru akhirnya ayahnya melepaskan.

Devon terbatuk-batuk keras. Cairan itu membuat tenggorokannya terbakar, perutnya terasa panas dan mual. Kepalanya semakin pusing, pandangannya juga berbayang tidak jelas karena efek alkohol.

Devon pikir siksaan menyakitkan ini sudah berakhir, tapi ternyata dia salah.

Tanpa peringatan, tiba-tiba ayahnya menghantamkan botol kaca itu ke kepala Devon. Membuat botol itu pecah berserakan dan cairan alkohol di dalamnya tumpah, mengalir bersama dengan darah segar yang keluar dari kepalanya.

Devon merasa seluruh dunia berhenti. Rasa sakit yang begitu tajam membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Kepalanya terasa seperti dihantam oleh benda berat, dan darah yang mengalir membuat pandangannya semakin kabur. Tangan kecilnya yang gemetar hebat mencoba meraih bagian kepala yang terluka. Kepalanya berdarah. Air mata keluar semakin deras karena rasa sakit yang menyesakkan.

Ayahnya masih berdiri di sana, menatap Devon dengan sorot mata yang sama. Marah dan benci. "Saya selalu benci kamu. Kamu itu anak gak berguna, mati aja kamu sana" teriaknya kasar.

Dengan emosi yang masih menguasai, dia mulai menendang tubuh Devon yang sudah meringkuk di lantai. Tendangan-tendangan itu terasa seperti pukulan palu yang menghantam tubuh Devon secara bertubi-tubi.

"S—sakit..." rintih Devon yang hampir tidak terdengar.

"Apa? Sakit? Begini sakit?" Ayahnya justru tertawa puas seperti manusia tidak berperasaan. Masih terus mengayunkan kakinya menendang dan menginjak tubuh ringkih Devon yang sudah tidak berdaya.

Kepala Devon semakin berputar pusing, pandangannya juga semakin buram. Rasa sakit yang menusuk membuatnya tidak bisa lagi merasakan apapun. Dia berusaha memeluk tubuhnya untuk melindungi diri, tapi tenaganya sudah habis. Dia tidak bisa melawan, tidak bisa berteriak, atau bahkan lari dari sini. Dia hanya bisa menerima setiap hal menyakitkan yang ayahnya berkikan sampai akhirnya tubuhnya menyerah. Pandangannya semakin gelap, dan rasa pusing yang amat sangat membuatnya merasa seperti melayang.

Sakit yang luar biasa itu mengambil kesadaran Devon secara paksa, membawanya ke dalam kegelapan yang menenangkan, jauh dari rasa sakit yang sedang dia alami.

"Dasar sampah," maki ayahnya pada tendangan yang terakhir, lalu kembali duduk di sofa dengan napas yang terengah lelah. Melempar sembarang pecahan botol yang tadi digunakan untuk memukul Devon, kemudian meraih botol minuman keras lainnya untuk dia nikmati.

Mengabaikan Devon yang tergeletak tak sadarkan diri dengan tubuhnya yang di penuhi oleh luka dan memar. Ayahnya bersilap seolah anak laki-laki itu tidak pernah ada disana.

________________
Buat yg ingin memaki bapaknya Devon, waktu dan tempat dipersilahkan😊🙏🏻

Secret Innocence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang