Pemakaman

1 0 0
                                    

Keesokan paginya, aku bangun dengan tekad bulat untuk mengunjungi alamat yang kutemukan di surat tuan Ranggala. Aku memutuskan untuk cuti dari kantor pos, merasa bahwa pencarian ini lebih penting daripada rutinitasku sehari-hari. Alamat itu membawaku ke sebuah pemakaman umum, tempat yang sunyi dan penuh dengan makam-makam tua.

Setibanya di sana, aku merasa canggung dan sedikit tidak nyaman. Mengapa alamat ini membawaku ke pemakaman? Apa yang bisa kutemukan di sini? Pagi itu begitu sepi, hanya ada suara angin yang berdesir di antara pepohonan dan suara burung yang berkicau.

Saat aku melangkah lebih dalam ke pemakaman, aku melihat seseorang dengan tubuh kurus dan tinggi mendekatiku. Wajahnya tampak serius dan sedikit angker, matanya menatap tajam ke arahku.

"Permisi, Nona. Pemakaman bukan tempat untuk bermain. Jika Anda tidak punya urusan di sini, sebaiknya pulang saja," katanya dengan suara dalam dan tegas.

Jantungku berdebar kencang. "Saya tidak bermain, Pak. Saya mencari seseorang atau sesuatu," jawabku dengan suara bergetar namun berusaha terdengar tegas.

"Siapa yang Anda cari di sini?" tanyanya, matanya menyipit curiga.

Aku mengeluarkan surat yang kutemukan, menunjukkan alamat yang tertera. "Saya menemukan alamat ini di sebuah surat. Saya mencari tahu lebih banyak tentang seseorang bernama tuan Ranggala. Apakah Anda tahu sesuatu tentang dia?"

Wajah pria itu berubah seketika. Tatapan kerasnya melunak, namun ada kilatan ketakutan di matanya. "Ranggala... Apa hubungan Anda dengannya?"

"Dia... dia suami dari seorang wanita yang pernah saya kenal, nyonya Manie," jawabku jujur. "Saya mencoba memahami apa yang terjadi antara mereka dan mengapa semuanya berakhir tragis."

Pria itu diam sejenak, kemudian menghela napas panjang. "Ikut saya," katanya singkat sambil berbalik dan mulai berjalan menuju bagian terpencil dari pemakaman.

Aku mengikutinya, rasa penasaran dan cemas bercampur aduk dalam hatiku. Kami berhenti di depan sebuah makam tua yang tampak sudah jarang dikunjungi. Di batu nisan itu tertulis nama yang membuat hatiku berdebar kencang: Ranggala.

"Di sinilah dia dimakamkan," kata pria itu dengan suara yang lebih lembut. "Dia meninggal beberapa bulan setelah menulis surat itu. Saya adalah penjaga pemakaman ini dan satu-satunya yang tahu kisahnya dengan nyonya Manie dan Yulia."

Aku terdiam, mencoba mencerna semua informasi ini. "Mengapa surat itu tidak pernah sampai ke nyonya Manie? Dan siapa yang menulis peringatan di pintu rumahku?" tanyaku, mencoba mencari lebih banyak jawaban.

Pria itu menatapku dengan mata penuh rahasia. "Surat itu tidak sampai karena ada yang berusaha menyembunyikan kebenaran. Tentang peringatan di pintumu, aku tidak tahu, tapi mungkin ada orang lain yang juga mengetahui kisah ini dan ingin melindungi rahasia itu."

Aku merasa ada lebih banyak yang tidak dia katakan, namun sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, dia melanjutkan, "Yulia tidak pernah tahu tentang nyonya Manie. Dia juga tidak tahu bahwa Ranggala masih terikat pernikahan ketika mereka bertemu. Ranggala adalah orang yang rumit, penuh dengan rahasia dan kontradiksi."

Aku merasa berat dengan semua informasi ini. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanyaku bingung.

Pria itu menatapku dengan tatapan penuh simpati. "Yang bisa kau lakukan adalah membiarkan kebenaran ini diketahui. Terkadang, mengungkap kebenaran adalah satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian, baik bagi yang masih hidup maupun yang sudah tiada."

Dengan kata-kata itu, aku meninggalkan pemakaman dengan perasaan yang campur aduk. Banyak misteri yang terkuak, namun banyak juga yang masih tersisa. Kebenaran tentang tuan Ranggala mulai terlihat, namun jalan untuk mengungkap semuanya masih panjang. Satu hal yang pasti, perjalanan ini belum berakhir, dan aku harus siap menghadapi apa pun yang menunggu di depan.

Aku DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang