Peringatan

1 0 0
                                    

Setelah perjalanan yang melelahkan dari Yogyakarta, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Namun, kegelisahanku semakin bertambah ketika mataku menangkap sesuatu yang aneh di depan pintu rumahku. Sebuah kertas putih tertempel di pintu dengan tulisan tebal: "Jangan bahas tuan Ranggala, ia seorang pengkhianat bagiku!!!"

Hatiku berdebar kencang. Siapa yang menulis ini? Dan mengapa mereka sangat marah tentang tuan Ranggala? Aku segera mencabut kertas itu dan menyimpannya agar tidak ada orang lain yang melihatnya. Aku tidak ingin memicu rasa penasaran atau ketakutan di antara tetanggaku.

Dengan kepala penuh pertanyaan dan tubuh yang lelah, aku masuk ke rumah. Hari itu terasa begitu panjang, dan segala yang terjadi di Yogyakarta masih terngiang

di benakku. Aku mencoba merangkai semua potongan informasi yang kudapat, namun rasa lelah akhirnya mengalahkanku. Aku melemparkan diriku ke sofa dan tanpa sadar tertidur.

Tidurku tidak nyenyak. Bayangan-bayangan dari Yogyakarta, surat tuan Ranggala, dan wajah sedih nyonya Manie bercampur aduk dalam mimpiku. Namun, sesuatu yang lebih nyata membangunkanku—suara ketukan berulang-ulang di pintu rumahku. Ketukan itu terdengar samar, namun cukup jelas untuk membangunkanku dari tidur.

Aku terbangun dengan jantung berdebar. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku berjalan menuju pintu dengan hati-hati, mencoba untuk tidak membuat suara. Ketukan itu berhenti sejenak, namun ketika aku mendekati pintu, suara itu terdengar lagi, kali ini lebih keras dan mendesak.

Dengan hati-hati, aku mengintip melalui lubang intip di pintu. Tidak ada siapa-siapa di luar. Aku membuka pintu perlahan, berharap tidak ada yang aneh. Tapi yang kutemukan hanyalah angin malam yang dingin dan jalanan yang sepi.

Aku memeriksa sekitar, mencari tanda-tanda kehadiran seseorang, namun tidak ada apa-apa. Perasaanku campur aduk antara lega dan khawatir. Aku menutup pintu dan kembali ke dalam rumah, mencoba menenangkan diri.

Aku duduk di sofa, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Ketukan itu, peringatan di kertas, semuanya terasa seperti sebuah peringatan atau ancaman. Aku memutuskan untuk memeriksa kembali surat dan foto yang kutemukan di rumah tua. Mungkin ada petunjuk yang terlewat.

Saat memeriksa surat-surat itu lagi, aku menemukan sesuatu yang aneh. Di salah satu surat yang tampaknya tidak terkirim, ada tanda air yang samar. Dengan hati-hati, aku mengarahkan surat itu ke cahaya dan melihat tanda yang membentuk sebuah pola—sebuah alamat. Alamat itu menunjukkan sebuah tempat di Magelang yang tidak begitu jauh dari tempatku tinggal.

Rasa penasaran semakin membesar. Siapa yang menulis pesan di depan pintuku? Apakah ini ada hubungannya dengan surat-surat tuan Ranggala yang tak terkirim? Dan yang terpenting, apa yang akan kutemukan di alamat yang tertulis di surat itu?

Meskipun lelah, aku tahu bahwa aku harus melanjutkan pencarianku. Keesokan harinya, aku akan mendatangi alamat tersebut dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dengan keputusan itu, aku mencoba untuk tidur lagi, berharap ketukan misterius itu tidak kembali menggangguku.

Namun, ketukan di pintu rumahku tadi malam telah membuka babak baru dalam pencarianku, membawa lebih banyak misteri dan mungkin, jawaban yang lebih mengejutkan.

Aku DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang