⚠Peringatan adegan kekerasan dan abusive parents
_________________________Devon tersadar karena kepalanya yang terasa sangat sakit. Dia merasakan denyutan tajam di pelipisnya dan perlahan membuka mata. Pandangannya masih buram, dunia di sekitarnya tampak berputar, membuatnya mual.
Devon bisa mendengar suara ayahnya yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon. Suaranya terdengar sangat ramah, bercampur dengan nada licik yang membuat Devon merasa tidak nyaman.
"Ya, dia di sini. Saya akan membawanya. Jangan khawatir, pak. Saya akan pastikan Anda merasa terhibur," kata ayahnya dengan nada penjilat. Devon tidak bisa mendengar suara orang di seberang telepon, tapi dia tahu itu bukan pertanda baik.
Tidak lama, ayahnya selesai menelpon. Devon dapat melihat sepatu ayahnya yang melangkah lebih dekat ke arahnya.
"Akh-" Devon meringis saat rambutnya ditarik oleh tangan besar sang ayah dengan kasar.
"Berdiri kamu sini!" bentak ayahnya memaksa Devon berdiri.
Tubuh Devon yang lemah terhuyung-huyung mencoba untuk tegak, ditambah rasa sakit di kepalanya yang membuat dia merasa sangat pening.
"Denger ini!" kata ayahnya dengan nada dingin. "Bos saya lagi bosan, jadi malam ini kamu bakal pergi buat ngehibur dia"
Devon merasa darahnya berdesir. "Devon... g-gak mau," katanya dengan nada ketakutan.
Plak...
Tamparan kembali Devon rasakan. "Saya gak perduli kamu suka atau enggak, tapi kamu bakal tetep pergi ngelakuin itu. Saya butuh promosi biar bisa naik jabatan dan ini bisa jadi cara instan buat saya dapetin itu," kata ayahnya dengan penuh ambisi yang licik. "Seenggaknya kamu bisa jadi sedikit berguna buat saya"
Devon merasakan ketakutan menyelimutinya. Dia tahu apa yang dimaksud ayahnya. Pikiran tentang apa yang mungkin terjadi jika dia pergi bersama bos ayahnya membuatnya bergidik ngeri. Devon tidak mau, dia takut akan diperlakukan kurang ajar, atau lebih buruk lagi, dia akan diperkosa seperti ketika pertama kali dia menyetujui hal begini.
Devon ingat dengan jelas saat itu dia juga pernah berada di situasi seperti ini, beruntung Arson datang menyelamatkannya. Namun, kali ini tidak ada jaminan apapun kalau dia bisa selamat lagi, Arson belum tentu akan datang seperti sebelumnya.
"Gak mau," Devon berusaha memberontak dan meronta, tapi tubuhnya yang lemah akibat luka tidak mampu melawan kekuatan ayahnya.
"Ayo, jangan buat saya marah, Devon. Kita harus pergi ke club sekarang," kata ayahnya sambil menyeret Devon keluar rumah. Devon terus mencoba melawan, tapi tetap tidak bisa menandingi kekuatan ayahnya.
Ketika mereka sampai di garasi, ayahnya memaksa Devon untuk masuk ke dalam mobil. Devon jelas menolak tidak mau masuk, dia meronta-ronta sekuat tenaga. "Gak mau.... Devonnya gak mau, Ayah! T-tolong... tolong lepas" jerit Devon dengan air mata yang mulai mengalir di wajahnya.
"Saya bilang masuk!" bentak ayahnya kehilangan kesabaran. Dia menarik Devon dengan lebih keras, hampir melemparkannya ke dalam mobil karena Devon yang terus berusaha melawan.
Devon menendang dan memukul sebisanya, tapi sekali lagi, tubuhnya terlalu lemah untuk sekedar lepas dari cengkeraman ayahnya. "A-ayah... Ayah enggak... G-gak mau..." isak Devon, suaranya bahkan hampir hilang karena rasa takutnya.
Sampai akhirnya, sang ayah yang sudah benar-benar kehilangan kesabaran, memegang kepala Devon dengan kasar dan langsung menjedotkannya ke pintu mobil.
Rasa nyeri yang luar biasa menyebar di keningnya, luka sebelumnya yang sudah mengering kini kembali sobek. Darah segar mengalir dari pelipisnya, menetes sampai ke pipi. Mata Devon berkunang-kunang, kepalanya seperti berputar karena pening. Namun, dia tetap tidak mau menyerah. Dia tahu apa yang akan terjadi jika dia sampai pergi ke club itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...