Lie: 15' Asrama No. 23

156 63 22
                                    

"Emang di sini nggak ada CCTV, ya?" tanya Shan.

Heaven menggeleng pelan. "Enggak. Kalau ada, si pelaku nggak bakal bertindak sejauh itu," jawabnya.

Setiap malam yang datang dan setiap hari yang berganti, keadaan menjadi semakin rumit. Alih-alih menemukan musuh di balik selimut, mereka justru disuguhkan dengan korban terbaru. Friday nyaris merasa frustasi, dia menghela napas lelah. "Udah, Van, habis ini lo usul ke Pak Wahyu buat pasang CCTV di kostnya," usulnya.

"Ide bagus."

Tiba-tiba ponsel milik Sean memperoleh sebuah notifikasi pesan. Laki-laki itu segera menyalakan ponselnya, lalu menyadari bahwa pesan yang masuk bisa dikatakan cukup serius. "Gue mau balik ke asrama," katanya.

"Ada apa?" tanya Friday penasaran.

"Kepala asrama nyuruh gue segera balik. Ayo, Shan," ajak Sean kepada Shan selaku penghuni asrama seperti dirinya.

"Bentar." Heaven mencegah mereka yang hendak pergi. "Ray gimana?"

"Gue usahakan malam ini kodenya bisa diungkap, Supri juga ikut bantu."

"Kalau udah terungkap mau apa?" Mahesa bertanya sambil sedikit memiringkan kepala.

Sean menautkan kedua alisnya. Dia kurang bisa menangkap maksud di balik pertanyaan tersebut. "Entah? Mungkin lo mau mewakili kita buat bunuh si pelaku?"

"Sorry, tangan gue masih suci." Obrolan mereka berhenti sampai di situ sebelum Sean dan Shan pergi kembali ke asrama. Sedangkan Friday memutuskan untuk mengikuti mereka.

Sean sendiri belum tahu tindakan apa yang harus diambil ketika mereka telah menemukan keberadaan Ray. Melapor ke Dr. Orchids dan memintanya untuk membantu proses autopsi? Sepertinya terdengar mencurigakan, karena Dr. Orchids telah membantu proses autopsi sebanyak tiga kali berturut-turut. Apa lagi mereka tidak mengetahui rincian kejadian di kost Ray malam itu, kecuali sang pelaku sendiri. Jika mereka melaporkan kasus hilangnya seseorang dengan bukti penguat berupa pesan dari permainan mafia, bagaimana tanggapan pihak kepolisian nanti? Tentu hal ini terdengar berkali-kali lipat tidak masuk akal bagi orang yang tidak memainkan permainannya.

Untuk sementara, mari kita abaikan kasus hilangnya Ray Erlangga. Begitu sampai di asrama, Shan justru melangkah cepat menuju kamar seseorang.

"Shan, kita mau menemui kepala asrama!" Sean memperingati, tetapi tidak mendapat respon. Mau tidak mau, dia dan Friday mengikutinya.

Mereka sampai di sebuah kamar nomor 23. Shan pun mengetuk pintu di hadapannya. "Jeano! Keluar lo!"

Klek!

"Apa-" Belum sempat si pemilik ruangan menanyakan maksud kedatangan mereka, Shan telah bergerak cepat mencengkeram kerah kemeja Jeano. Tentu tindakannya ini mengundang tanda tanya besar sekaligus raut panik dari dua orang di belakangnya.

"Ngaku! Lo yang bunuh Ray sama Nathan, kan?! Makanya lo nggak datang pas pemakaman Nathan!" bentak Shan hingga membuat Jeano sedikit mundur.

"Lo kenapa, berengsek?!" Jeano berusaha menyingkirkan tangan Shan. "Waktu itu gue sibuk. Puas?!"

"Hey, jangan buat keributan di asrama!" Sean kembali memperingati.

"Sok sibuk!" Shan mengabaikan peringatan Sean. "Bilang aja lo takut!"

"Sialan!" Friday tidak akan membiarkan pertikaian mereka didengar oleh penghuni asrama yang lain. Dia memisahkan keduanya secara paksa. Kemudian melayangkan tatapan datar sekaligus tajam. "Lo berdua boleh bahas masalah ini, tapi jangan sambil terisak, bisa? Kita di asrama. Topik lo menyangkut nyawa beberapa orang yang direnggut secara cuma-cuma. Bukan kucing di atas pohon, apa lagi kerbau masuk parit," tegasnya.

The Dead Friendship || 00L ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang