Lie: 28' Malam Puncak

91 27 17
                                    

"Lo yakin kita nggak usah kerja?"

Berdasarkan instruksi sang ketua kelas, mereka bertiga memutuskan untuk pergi ke lokasi markas rahasia milik dr. Orchids. Berbekal titik koordinat yang diberikan Rhino serta beberapa senjata sederhana seperti pistol, pisau, dan gagang sapu berukuran tiga puluh sentimeter. Waktu menjelang tengah malah yang seharusnya digunakan untuk berancang-ancang sebelum mengeksekusi peran lain, justru mereka gunakan untuk menghabisi dr. Orchids yang diduga memakan bangkai teman-teman mereka. Mengabaikan peran gila yang berkamuflase di antara polisi dan detektif.

Sean mengangguk, merespons pertanyaan Friday. "Gue yakin, siapa tahu ada beberapa orang yang belum dimakan," jawabnya.

Sejujurnya Sean hanya menyuruh untuk tidak bekerja, sedangkan ide gila ini dicetuskan oleh Shan. Katanya, "Kita harus memiliki rasa kemanusiaan meskipun kita bukan manusia!"

"Masih lama?" Friday kembali bertanya. "Tahu gitu tadi naik ojol aja."

"Gue baru tahu ada ojol tengah malam," sahut Shan.

"Dikit lagi." Sean terus memperhatikan layar ponselnya sembari berjalan. Lokasi markas rahasia dr. Orchids terletak jauh dari keramaian kota, tepatnya di ujung Jalan Kakao yang diapit oleh hutan lebat.

Friday berdecak kesal. "Orang gila mana yang bikin rumah di tengah hutan," gerutunya.

"Bukankah kita bakal mati kalau nggak kerja? Dengan kata lain harus bunuh diri," celetuk Shan yang sedikit merasa was-was.

"Emang lo mau bunuh diri cuma karena permainan konyol ini?" tanya Friday.

"Bukan gitu. Mereka yang katanya mati gantung diri juga pasti nggak mau, kan? Pasti mereka dipaksa sama dalangnya."

"Tapi peran polisi kalau nggak kerja juga oke, soalnya masih punya dua kesempatan buat bolos," tutur Friday dengan santai.

Tiga remaja itu terus melangkah melewati pepohonan yang rindang, memijak dedaunan serta ranting-ranting kering yang berjatuhan. Menembus kegelapan dengan berbekal senter tanpa rasa takut. Sean memandu di depan sambil sesekali memperhatikan ponselnya.

"Di sana." Sean menunjuk sebuah bangunan tua yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Kemudian langkahnya terhenti seraya berbalik badan. "Permainan mafia belum berakhir. Kalau kita nggak kerja, mungkin bakal dipaksa bunuh diri. Maka dari itu, waktu kita menghabisi Dokter Orchids cuma sampai fajar," terangnya.

Friday menautkan kedua alisnya. "Jangan bilang lo mikir bahwa Paman Orchids itu ...."

"Hanya dugaan sementara."

***

Ditatapnya sebuah bangunan terbengkalai yang berdiri di hadapan mereka. Gedung tua lima lantai itu tampak dihiasi oleh tumbuhan lumut serta butiran-butiran debu yang tebal. Jangan lupakan cat pada temboknya yang telah mengelupas akibat termakan usia, menambah kesan mencekam layaknya bangunan angker di film horor.

Mereka mulai memasuki bangunan tersebut. Baru saja membuka pintu, mereka langsung disambut oleh bau amis darah yang menyengat. Selain itu, di sana juga terdapat bercak-bercak merah yang menghias lantai serta dindingnya.

"Pegang senter yang bener, bangke!" tegur Friday.

Shan selaku sosok pemegang alat penerang tersebut berdecak kesal. "Diem, Sup! Kalau megang senter asal-asalan, bisa-bisa malah hantu yang kesorot."

"Halah, hantunya juga ogah lihat modelan klepon kayak lo."

Akan melelahkan jika mereka harus menaiki satu persatu anak tangga dari lantai satu hingga lima. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk langsung berteleportasi ke lantai teratas. Di sana tidak tercium bau amis seperti di lantai satu. Melainkan bau bangkai-bangkai manusia yang berjajar dengan rapi.

The Dead Friendship || 00L ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang