Lie: 29' Taman Kakao [End]

111 24 14
                                    

"Ngapain tengah malam main ke taman?"

Jeano menoleh, mendapati sosok Friday yang melangkah mendekati dirinya. "Lo juga ngapain di sini?" tanyanya.

"Entah," jawab Friday seraya menaikkan bahunya sekilas. "Pohon beringinnya nggak bakal salting meski lo pelototi sampai pagi."

"Hanya pengangguran yang ngelakuin itu."

Friday berdiri di sebelah Jeano, tangannya dimasukkan ke saku celana. "Lo nyesel, ya?" tanyanya dengan tatapan yang mengarah ke pohon rindang tersebut.

"Buat apa?" Kedua alis Jeano praktis bertaut. Friday seolah bisa membaca isi pikirannya. Kehadiran si surai putih di sini hanya sebagai pelarian untuk melindungi dirinya dari teror si gila. Namun, kala maniknya tak sengaja menangkap pohon beringin di pusat Taman Kakao, ingatan Jeano berputar ke hari di mana Nathan gugur. Hingga detik ini, dirinya direngkuh oleh berbagai penyesalan.

"Pohon ini saksi kematian Nathan."

Ucapan Friday berhasil menikam lubuk hati Jeano. Pedih rasanya. Dia tidak ingat apakah Nathan pernah menentang pendapatnya mengenai permainan mafia tersebut. Kalaupun Nathan memang melakukan, seharusnya hal itu tidak dapat menutupi segala kebaikannya, sehingga ketidakhadiran Jeano kala prosesi pemakaman si surai hitam tidak perlu terealisasi.

"Gue ngerti."

"Terlambat untuk menyesal, Jeano. Nana udah terlanjur kecewa sama lo," kata Friday.

"Gue benci mengakui ini. Tapi maaf, nggak ada yang nyesel," sahut Jeano menyembunyikan isi hatinya.

"Stres. Gue kasih tahu, ya. Penyesalan paling sakit adalah ketika lo nyesel sama seseorang tapi orangnya udah nggak ada. Jangankan minta maaf, orang itu bahkan nggak bakal dengar permintaan maaf lo," tutur Friday serius.

"Oh ... gitu, ya?"

Friday mendengus sebal. Percuma saja dia berakting seperti orang bijak, respons Jeano sangat tidak manusiawi. "Harusnya gue ngerti, ngasih nasihat ke orang keras kepala kayak lo itu bagaikan berak sehabis sarapan. Percuma," sindirnya.

"Terus? Sekarang lo mau apa?" tanya Jeano yang mulai merasa jengah.

"Menyingkirkan nama lo dari daftar saingan gue."

"Saingan?"

Si surai cokelat mengangguk. "Kenapa, sih, lo harus berada di peringkat tiga? Jarak nilai kita cuma tiga angka semester lalu. Gue nggak mau posisi peringkat dua paralel gue direbut sama lo," ungkap Friday seraya terkekeh.

Jeano berdecih sambil melipat kedua tangannya di depan dada. "Percuma dapet peringkat tinggi, tapi bodoh memilih teman. Lo sadar nggak, selama ini dimanfaatin Mahes? Mau-maunya ngasih contekan ke dia."

"Oh, gue dimanfaatin? Bagus, dong. Itu artinya hidup gue bermanfaat buat orang lain." Friday tertawa hingga air matanya sedikit menetes.

"Bodoh. Gue yakin alasan lo bukan cuma itu."

"Iya." Dia mengangguk usai tawanya mereda. "Lo nggak bisa, ya, belajar menghargai pendapat orang lain?" tanya Friday dengan sorot mata yang gelap. Baginya, semua orang berhak atas kebebasan berpendapat. Friday yakin, menghargai pendapat orang lain bukan hal yang sulit. Meskipun pada akhirnya opini Jeano memang benar, tetapi menyalahkan juga bukan tindakan yang bisa dinormalisasi.

Jeano sedikit memiringkan kepalanya. "Bukankah lo yang menentang pendapat gue? Gue udah bilang beberapa kali, kita bermain secara nyata. Tapi kalian malah ngeyel dan nuduh sembarangan. Minimal ngaca. Jangan minta dihargai kalau lo sendiri nggak tahu cara menghargai orang lain," jelasnya penuh dendam.

The Dead Friendship || 00L ✓ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang