2

6K 920 156
                                    

Di masa lalu ketika keluarga Dipati Satya pindah ke Kota Paseng, wastu lama mereka telah dijual kepada orang lain. Kini mereka pindah kembali ke ibu kota, Lasmana tentulah harus membeli yang baru. Namun, siapa yang tahu jika kemudian Maharaja Dharmalokapaji menghadiahi mereka dengan sebuah kediaman.

Yang satu ini awalnya milik yades sebelumnya. Yades tersebut diasingkan sebagai budak setelah terbukti menerima suap dan menyelesaikan banyak kasus yang masuk ke meja Dharmakala secara tidak adil. Dengan uang itu, ia mulai membangun kediaman yang megah dengan berbagai kelawasan yang mencengangkan.

Ada gunung palsu di sini dan sungai buatan di sana, bahkan tanaman di kediaman itu sangat langka, membuat siapa pun yang melihat tidak bisa tidak memperkirakan seberapa banyak dharana yang telah dikumpulkan mantan yades.

Ketika Maharaja Dharmalokapaji menghadiahkan wastu untuk Dipati Satya, ia hanya mengambil harta benda milik mantan yades; terutama uang, koleksi barang berharga dan akta tanah atau rumahnya di luar. Wastu ini tidak disentuh sama sekali, karenanya Lasmana dan Dwita hanya perlu mengisinya dengan beberapa perabotan baru dan itu siap ditempati.

Ada tiga anak di dalam keluarga dan semuanya belum menikah. Masing-masing dari mereka mengambil halaman yang luas, dipilih sesuai keinginan.

Serayu tidak terlalu suka dengan kebisingan, jadi lokasi yang dia pilih sedikit jauh dari halaman depan. Itu melewati sungai buatan dan dekat dengan taman bambu, sehingga bisa memberikan pemandangan yang asri serta udara yang lebih sejuk.

Ketika dia bangun pagi itu dan melihat warna hijau di balik jendela, rasa mudah tersinggung karena lelah dalam perjalanan sedikit ditenangkan. Udara yang bagus juga membuat tidurnya lelap semalam, jadi suasana hati Serayu lebih baik hari ini.

"Waktu apa ini?" tanya Serayu.

Manika yang tengah membereskan selimut dan kelambu menjawab, "Ini pertengahan waktu Rawi (07.00), Nimas."

Candani yang tengah memilih kahin untuk Serayu menambahkan, "Belum terlambat untuk sarapan, Nimas. Nyimas Dipatni berkata akan menunda sarapan hari ini karena tahu Nimas dan Arya Sakala pasti lelah."

"Bhramas Sakala belum bangun?" Serayu agak kaget.

Candani tertawa kecil saat menanggapi, "Arya Sakala sudah pergi berlatih sejak akhir waktu Mega (05.00)."

"Hm, itu lebih sepertinya." Hampir saja Serayu salah mengira saudara lelakinya menjadi malas karena lelah dalam perjalanan―yang benar-benar tidak mungkin untuk seorang pecinta bela diri.

Setelah selesai bersiap, Serayu segera pergi dengan pelayannya menuju ruang makan di halaman keluarga. Ketika dia tiba, Sakala juga datang, di mana semua orang hanya tinggal menunggu keduanya.

Serayu tersenyum, tapi tidak mengatakan apa pun. Lagi pula di dalam keluarga mereka, hal-hal penuh perhatian seperti ini adalah normal, yang menunjukkan seberapa harmonis hubungan di antara mereka.

"Semuanya di sini," Dwita berkata saat melihat anak-anaknya. "Biarkan pelayan menghidangkan sarapannya," perintah wanita itu kemudian.

Masing-masing mengambil tempat duduk mereka, sebelum kemudian mulai makan sambil sesekali berbicara. Sudah cukup lama sejak terakhir kali mereka makan bersama, jadi suasana di ruangan itu sangat hangat dan penuh dengan kekeluargaan.

Berbanding terbalik dengan suasana rukun di keluarga Dipati Satya, wastu Rajapati Rangkong dilanda kegelisahan sejak hari kemarin.

"Bagaimana keadaan di luar?" Arsaloka bertanya pada pria yang duduk di seberangnya.

Laksana Angin Bagaikan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang