"Gimana keadaan ketua Alter itu?" tanya Fino, ketika Arson mendekatinya di area luar rumah sakit, sambil menyalakan rokok.
"Devon udah masuk ruang rawat inap. Sekarang dia lagi tidur" Arson menjawab sambil ikut menyalakan rokoknya sendiri. "Lo tadi nyampenya cepet banget anjir," katanya mencoba memulai obrolan.
Fino menggedikan bahu cuek. "Tadi kebetulan gua lagi ada di deket situ" jawabnya.
"Kebetulan lagi bawa mobil juga?"
Fino hanya mengangguk sekilas. Dia terlihat santai dan seperti tidak terlalu tertarik pada kehadiran Arson, tapi dari tadi matanya terus melirik penuh selidik, memperhatikan setiap gerak-gerik Arson tanpa disadari.
"Soal Devon-"
"Lo punya perasaan sama dia?" tanya Fino mendahului perkataan Arson.
Arson tersentak, menatap Fino dengan tatapan terkejut. Bertanya-tanya bagaimana tebakan laki-laki itu bisa nyaris akurat begitu?
"Keliatan jelas dari tingkah lo," lanjut Fino dengan nada cuek. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengepulkan asap dengan santai. "Jadi, kenapa keadaannya bisa begitu? Dia diserang?" tanyanya lagi.
"Jujur gua gak tau. Pas gua ketemu dia, keadaanya udah ketakutan dan luka-luka kaya gitu. Gua udah nanya karena gua juga takutnya dia diserang sama geng lain, tapi dia cuman nyebut 'ayah' berkali-kali."
"Ayah? Mungkin dia kecelakaan?" tanya Fino masih dengan nada santai menyampaikan kemungkinan yang dia pikirkan.
Arson menggeleng. "Dia justru ketakutan pas nyebut ayahnya. Sekarang Devon gak bisa ditanya apa-apa, dia cuman nangis kalo diajak ngomong."
Fino mengangguk, mencerna informasi dari Arson itu. "Terus lo sama Devon gimana? Suka?"
Arson mengernyit, bingung dengan maksud perkataan Fino. Meski sudah lama saling kenal, terkadang Arson masih kesulitan memahami maksud perkataan Fino karena cara bicaranya yang terlalu singkat dan justru terkesan rancu.
"Hah? Gimana, Bang?" tanya Arson memastikan.
"Lo suka sama Devon?" ulang Fino, kali ini dengan lebih jelas.
Arson terdiam bingung. Kali ini bukan karena pertanyaan Fino melainkan karena perasaannya sendiri. Dia tahu dengan jelas bahwa dia menaruh hati pada Devon, tapi dia ragu mengatakan hal begitu pada Fino.
Fino juga tidak memaksa Arson untuk memberitau. Dia hanya menunggu dengan tenang, sambil terus merokok, terlihat cuek saja dengan kehadiran Arson di sebelahnya.
"Bang," panggil Arson akhirnya setelah beberapa saat terdiam, membuat Fino menoleh dengan gumaman pelan sebagai sahutan. "Kalo gua keluar Sinister, bisa?" tanyanya.
"Kenapa?" Fino mengernyit. Dia memperhatikan Arson dengan begitu intens, seperti mencari sesuatu dari raut wajahnya. "Karena Devon?" tanyanya seakan mengerti isi pikiran Arson.
Arson mengangguk pelan, kepalanya menunduk. "Gua ngerasa gak bisa ngekhianatin Sinister kalo gua suka sama Devon."
"Tolol," maki Fino sambil menginjak puntung rokoknya sampai mati. "Terus dengan lo keluar Sinister, apa yang bakal lo dapet? Lo pikir setelah lo keluar lo bakal bisa bareng sama Devon gitu?"
Arson semakin menunduk dengan tangan yang terkepal, lalu mengangguk kecil. Melihat hal itu, Fino tertawa. "Bukannya itu sama aja lo ngekhianatin Sinister juga?" tanyanya.
"Kan gua udah gak berhubungan lagi sama Sinister atau geng lain," balas Arson membela diri.
"Yakin? Muka lo udah diliat sama banyak orang sebagai bagian dari Sinister, yakin lo mereka gak bakal ngincer lo? Kalo lo udah gak berhubungan sama Sinister, justru ngebuat lo rawan dikeroyok musuh. Menurut lo, Devon bakal aman kalo kaya gitu? Lagian Devon belom tentu bakal berenti nganggep lo musuhnya setelah lo keluar Sinister" sahut Fino tegas.
Arson kembali diam, menyadari bahwa yang Fino katakan ada benarnya. "Terus gua harus gimana, bang?" tanyanya merasa putus asa.
Fino menghela napas, memalingkan wajahnya kembali lurus ke depan. "Makanya gua tanya, lo ada perasaan gak sama Devon?"
Arson mengangguk. "Mungkin iya."
"Perasaan apa yang lu punya buat dia? Suka, cinta, atau cuman sekedar penasaran? Kalo emang cuman penasaran, saran gua berenti sampe disini, perasaan Devon bukan buat lu mainin."
"Gua suka sama dia. Gua udah ngeyakinin diri gua sendiri, bang."
"Suka yang gimana?"
Arson diam sejenak, ingatannya melayang pada segala tingkah Devon yang selalu membuat jantungnya berdebar menyenangkan, sampai tanpa sadar dia tersenyum. "Gua gak tau pasti, tapi yang jelas setiap kali ngeliat dia ketawa gua ngerasa bahagia, bang."
Fino mengangguk mengerti. "Kalo emang lo beneran ngerasain itu sama dia, lo bisa kejar cinta lo. Gak perlu keluar Sinister. Masalah geng kita, gak ada hubungannya sama perasaan lo itu. Lo bebas jatuh cinta sama siapa aja," katanya.
"Meski orang yang gua suka itu musuh kita?" tanya Arson, masih tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Iya," Fino mengangguk. "Selagi itu gak ngebahayain anggota yang lain, gua gak perduli," lanjutnya sambil menepuk pundak Arson.
"Bang Fino, makasih udah dateng bantuin gua."
"Jangan kaya sama orang lain," Fino mengacak rambut cokelat milik Arson dengan kasar. "Lain kali kabarin gua kalo butuh, gua balik dulu ya. Jagain Devon!" katanya memperingati.
Arson selalu saja terlihat seperti adik jika berhadapan dengan Fino. Mungkin karena aura mengayomi yang Fino keluarkan terasa begitu kuat, membuat Arson tidak sungkan menganggap Fino seperti abangnya sendiri.
"Pasti," kata Arson sambil mengangguk yakin sebagai jawaban.
Setelah Fino pergi, Arson menghela napas panjang dan mematikan rokoknya. Dia merasa sedikit lega setelah berbicara dengan Fino, tapi perasaan cemas dan khawatir tetap bersarang di hatinya. Dengan langkah berat, dia kembali masuk ke dalam rumah sakit.
Arson sampai di depan pintu kamar rawat inap Devon. Dengan hati-hati, dia membuka pintu dan masuk. Di sana, di atas ranjang rumah sakit, Devon terbaring dengan kondisi babak belur penuh luka.
Hati Arson mencelos melihat hal itu. Wajah manis yang biasanya menggemaskan itu kini dipenuhi memar dan luka.
"Eugh—jangan... sakit ayah..." Terdengar suara rintihan samar dari mulut Devon, diselingi dengan tubuh kecilnya yang sesekali gemetar.
Arson mendekat dengan langkah perlahan, duduk di kursi di samping ranjang. Dengan lembut, dia mengelus kepala Devon, jari-jarinya merasakan rambut halus yang biasa dia lihat tertata rapi. "Tenang, Devon. Gua di sini," bisiknya pelan, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan.
Melihat Devon dalam kondisi seperti ini membuat hati Arson campur aduk tidak karuan. Ada perasaan marah yang tidak bisa dia lampiaskan, marah pada siapa pun yang telah membuat Devon terluka begitu parah, tapi dia juga merasakan perasaan sedih yang mendalam, melihat Devon yang terluka lebih dari yang pernah dia lihat sebelumnya. Bahkan ketika mereka terlibat tawuran sekalipun, luka yang Devon dapatkan tidak pernah separah ini.
Arson menggenggam tangan Devon yang dingin, merasakan denyut nadinya yang lemah, tapi tenang. "Gua janji bakal jaga lo," bisiknya lagi, menahan gejolak hatinya yang bercampur membingungkan. "Gua bakal cari tau siapa yang bikin lo kaya gini dan ngebales perbuatannya. Gua janji."
"Uhh—mhh..." Devon mengeluarkan rintihan kecil, tubuhnya sedikit menggeliat.
Arson terus mengelus kepala dan tangannya, mencoba memberikan rasa nyaman agar Devon bisa tenang dalam tidurnya. "Shh—stt, gapapa ya. Gak ada apa-apa disini, gua jagain" kata Arson dengan suara yang sedikit serak.
Malam semakin larut, tapi Arson sama sekali tidak beranjak dari sisi Devon. Dia tetap duduk di sana, hanya untuk tetap mengelus kepala Devon dan menenangkannya setiap kali cowok kecil itu mengigau dalam tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Innocence [END]
Teen FictionSinister Series : 2 Sebelum membaca cerita ini, disarankan untuk melihat bio di profil lebih dulu!! Devon Abimana, ketua dari geng Alter, bertemu dengan Arson Juliard, yang merupakan anggota geng musuh. Arson yang saat itu tergerak membantu Devon me...