°• Chapter 22 •°

96 63 1
                                    

📌
Ini hanya cerita fiksi, murni imajinasi penulis dan tidak berhubungan dengan kejadian atau terjadi di dunia nyata.
📌
Harap bijak dalam berkomentar, ya:)
🌛Thanks and Happy Reading🌜

•°•°•°•°🌛☀️🌜•°•°•°•°

Setelah teror penusukan yang menimpa Papa, Ryuki menjadi lebih protektif menjaga seluruh anggota keluarganya. Tidak tanggung-tanggung, setidaknya ada 15 pengawal dikerahkan untuk menjaga sang penerus kedua Sanjaya grup itu selama masa penyembuhan. Mereka semua menyamar dan membaur dengan pasien.

Kondisi papa juga berangsur membaik setelah dua minggu dirawat. Sebenarnya ia belum boleh pulang, tapi papa selalu merengek minta pulang dengan alasan tidak betah di rumah sakit.

Pagi ini, Papa kembali merengek hal yang sama. Anak laki-lakinya tidak datang, jadi suster khusus menemaninya sekarang.

"Suster, berapa lama lagi saya di sini?" tanya Papa memelas.

Suster itu mengulas senyum hangat. "Sebentar lagi, Pak. Kalau lukanya sudah sembuh, baru boleh pulang ke rumah," jawabnya sabar.

Papa memanyunkan bibir. "Saya mau jalan-jalan. Saya bosen di kamar."

"Mari, saya antar." Dengan sabar suster itu membantu Papa duduk di kursi roda, tapi sekali lagi papa menolak.

"Saya mau jalan-jalan. Kalau pakai kursi roda bukan jalan-jalan namanya," ucapnya lebih tegas.

Vivi nama suster itu. Lagi-lagi ia tersenyum menanggapi. "Biar saya temani."

Walau sedikit memaksa, papa memegang alat infusnya sebagai pegangan tangan dan mulai pergi keluar kamar. Ruang VVIP memang beda, tidak banyak kebisingan dan lebih tenang. Sebenarnya bagus, tapi papa bilang itu menyeramkan.

Baru saja hendak ke taman, mereka berpapasan dengan Ziddane. Laki-laki itu datang membawa bubur sesuai permintaan Ryuki.

"Paman kenapa keluar?" Ziddane terkejut.

"Paman capek tidur di dalem," jawab papa asal.

Ia kembali melanjutkan jalannya ke arah gazebo yang masih kosong. "Paman, sarapan dulu," tegur Ziddane menyusul.

Suara burung bersahutan masuk ke telinga tua papa. "Paman jadi pengen pelihara burung."

"Paman, ayo sarapan. Saya bawa bubur," ajak Ziddane ikut duduk di gazebo.

"Suster, bilang ke dia kalau saya nggak mau makan!"

Vivi menahan tawa, lalu memandang Ziddane. "Paman, kalau nggak sarapan mana bisa minum obat?"

"Suster, bilang ke dia kalau saya alergi sama obat."

"Sejak kapan paman alergi obat? Terus lukanya kapan sembuh?" Ziddane hampir putus asa. Nada bicaranya sudah melunak dan tidak seformal biasanya.

"Suster, bilang ke dia kalau saya alergi obat sejak tadi pagi."

Ziddane menghela napas. Ia menyuruh Vivi untuk memberinya sedikit ruang. "Ya udah kalau alergi obat. Semakin lama obatnya abis, semakin lama juga pulangnya." Ia berbicara sendiri.

Sontak papa berbalik, tangannya cepat mengambil bubur itu dan memberikannya pada Vivi. "Saya mau makan, tapi disuapin."

Vivi tersenyum lega, akhirnya pasien ini mau makan. Ada yang pernah bilang, semakin tua umur seseorang, maka tingkahnya akan kembali ke masa anak-anak. Dan itu juga berlaku pada Papa. Terkadang merajuk, terkadang bijak, terkadang manja tergantung siapa yang ada didekatnya. Ziddane sudah paham itu, ia ahli dalam membujuk, tidak heran kalau ia jadi tangan kanan Ryuki sejak dulu.

SetaLynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang