°• Chapter 20 •°

172 117 7
                                    

📌
Ini hanya cerita fiksi, murni imajinasi penulis dan tidak berhubungan dengan kejadian atau terjadi di dunia nyata
📌
Harap bijak dalam berkomentar, ya:)
🌛Thanks and Happy Reading🌜

•°•°•°•°🌛☀️🌜•°•°•°•°

Sesuai kesepakatan semalam, tepat pukul jam setengah sembilan pagi Seta sudah siap menunggu di parkiran apartment. Laki-laki itu yang paling antusias karena semakin hari Velyn semakin dekat dengannya. Yang awalnya hanya berbicara singkat, meminta tolong, sedikit terbuka, sampai akhirnya Seta bisa melihat air mata yang selalu disembunyikan Velyn. Kemajuan yang bagus untuk beberapa bulan awal. Kalau semuanya lancar, mungkin ia akan mengangkat status hubungan mereka lebih jauh. Itupun jika Ryuki setuju. Kalaupun tidak, ia akan memaksa dengan berbagai cara.

Sayangnya antusias itu pupus kala Velyn tidak menjawab teleponnya sejak satu jam lalu. Setiap sepuluh menit, Seta menguap menahan kantuk yang kembali menyerangnya.

Dengan cepat, ia membuka laci mobil dan mengambil sebungkus permen kopi yang bercecer di sana. "Apa jangan-jangan dia udah berangkat?" pikirnya.

Melirik jam yang melingkar di tangan sudah lewat jam 10. Sejak tadi nada dering handphone juga tidak kunjung berhenti. Siapa lagi yang menelpon kalau bukan partner tugasnya kali ini, Gevan.

Senior kulkas (Gevan)
Lo niat ngajak gue, nggak?

Buru-buru Seta menjawab pesan singkat yang masuk sebelum Gevan mematikan handphone dan tidak mau menemaninya lagi.

Setelah mengirim jawabannya, Seta langsung mematikan handphone dan menyimpan nya di laci. Kepalanya kembali celingukan menunggu orang yang tidak kunjung datang. "Gue udah telat banget," gumamnya cemas.

Tidak lama suara hak sepatu terdengar berlari mendekat ke arah mobilnya. Bisa ditebak siapa yang datang. Seta menarik sudut bibir lega. Ia pikir Velyn benar-benar lupa hari pertamanya bekerja.

"Udah lama?" tanya Velyn.

Seta menggeleng. "Nggak, gue baru sampai," jawabnya bohong.

Dari ujung rambut sampai ujung kaki, penampilan Velyn hari ini cukup menarik perhatian. Bukan karena seragam yang disediakan, atau celana pensil berwarna hitam yang sedikit mengubah vibes imutnya. Ia juga tidak masalah dengan kuncir kuda rambut itu. Tapi... Kenapa ada kacamata, scraft, dan sepatu heels? Dahinya mengerut bingung.

"Bukannya di sana pakai sandal bulu? Kenapa lo pakai heels kayak orang kantoran?"

"Terus, muka lo mirip masha. Buat apa itu kain? Kan kerjanya di dalem ruangan."

"Kacamata juga buat apa? Memang di dalem silau?"

Velyn mengerucutkan bibirnya malu. Padahal semalam ia sudah mencari di internet bagaimana berpakaian rapi di hari pertama kerja. Tapi, ternyata ini berlebihan, ya? Saking malunya, tanpa sadar ia menitikkan air mata.

Menyadari hal itu, Seta lantas menyeka air mata di pipi polos nya cepat. "Kenapa?"

"Malu."

"Malu sama gue?"

Velyn mengangguk pelan. "Jadi diri sendiri itu yang terpenting."

"Tapi di luar negeri, orang kalo kerja style nya kan begini," sanggah Velyn.

Seta tertawa ringan. Ia mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan agak tinggi untuk mengejar waktu. "Kata siapa?"

"Kata internet."

"Memang lo pernah lihat langsung orang luar negeri pakai begituan?" tanya Seta lagi.

Velyn menggeleng. "Gue lihat model pada pake begituan."

SetaLynaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang