2 | Once in a Blue Moon

5.6K 520 7
                                    

"Sepertinya aku tidak mengenalmu."

Lebih baik begitu, pikir Lyra. Perlu diingat, River merupakan bagian dari golongan populer di Foxcroft. Golongan yang berisi anak-anak politikus, pemilik perusahaan, intinya orang kaya. Lyra sendiri hidupnya terbilang berkecukupan, tetapi berbeda jauh dibandingkan mereka. Seingat Lyra, River sendiri merupakan putra tunggal dari pemilik perusahaan farmasi. Hidupnya disiapkan untuk masa depan cemerlang, dikelilingi dengan orang-orang yang setara.

Lyra bukan bagian dari orang-orang itu, dan lebih baik menjaga jarak daripada mencoba menjadi sesuatu yang jelas bukan dirinya.

"Bukankah itu tujuan dari masquerade?" balas Lyra. "Berdansa tanpa mengenal siapapun di balik topeng ini."

"Kurasa kau benar." River tersenyum simpul. "Sebuah misteri untuk satu malam, bukan?"

Lyra tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil. Lucu mendengar kalimat Maya tak sengaja diulang kembali oleh orang asing. "Benar. Kalau kita tahu identitas masing-masing, itu takkan menyenangkan."

"Bagaimana jika nanti aku penasaran?" tanya River.

Entah apa hanya perasaan Lyra saja, tetapi jarak mereka berdua seperti mulai menipis. Lyra bisa merasakan kain dari lengan jas River menyentuh lengan gaunnya. "Bagaimana, ya? Kita lihat saja nanti," balas Lyra asal.

"... semoga pesta dansa ini bisa menjadi momen berkesan untuk kalian semua."

Berbicara dengan River sampai membuat Lyra tidak memperhatikan pidato Violet. Begitu kembali menoleh pada panggung, Violet sudah memberikan mikrofon kembali pada pembawa acara.

"OSIS tahun ini bekerja dengan sangat baik. Acara yang mereka adakan selalu menarik," komentar River.

"Aku setuju." Lyra berusaha keras menahan diri dari tersenyum bangga. "Aku tidak menyangka kalau konsep masquerade bisa dieksekusi seperti ini. Kukira hanya akan jadi pesta dansa topeng biasa, tetapi kita justru seperti berada di pesta Bridgerton."

"Series yang latarnya kerajaan Inggris itu, kan?"

"Benar. Kau menontonnya?"

"Ah, tidak. Kontennya selalu lewat di media sosialku belakangan ini sehingga aku sedikit tahu tentang seri itu. Apakah aku harus mencoba menonton?"

"Kalau kau suka genre romansa, coba saja."

Sudut bibir River terangkat. "Kebetulan, aku menyukai genre itu."

Walau tidak terlihat, alis Lyra terangkat. "Serius?"

"Memangnya cowok tidak boleh suka romansa?"

River Monroe menonton Bridgerton sama sekali tidak ada dalam bayangan Lyra. Tapi, dia benar juga. Setiap orang bebas menyukai apapun. "Aku hanya jarang menemukan cowok yang terang-terangan menyebutkan itu," balas Lyra.

"Karena kau tidak mengenalku, jadi apa salahnya kalau aku jujur?" tanya River. "Kalau kau temanku, mungkin kau sudah tertawa dan menganggapku seperti lelucon."

"Temanmu yang aneh. Untuk apa kalian berteman kalau kau tidak bisa jadi dirimu sendiri?" Melihat River yang terdiam, Lyra merasa ucapannya terlalu menghakimi. "Aku tidak kenal temanmu, tapi bagiku, teman yang baik tentu akan menghargai perasaanmu."

"Bagi yang sudah menemukan pasangan, boleh langsung bersiap ke tengah-tengah aula karena dansanya akan segera dimulai!"

Suara Eliza-pembawa acara-yang nyaring itu mengalihkan perhatian mereka. Lyra sampai menoleh dan berpikir bahwa Violet tidak salah menugaskan Eliza karena cewek itu pandai ketika berbicara di atas panggung. Kemudian, orang-orang mulai mengambil posisi, menciptakan lingkaran besar di tengah aula bagi mereka yang ingin berdansa.

"Maukah kau berdansa denganku?" River menjulurkan tangannya.

Lyra menjawab dengan membalas uluran tangan tersebut. Tanpa basa-basi, River menuntunnya ke tempat yang cukup lowong di area dansa. Beberapa saat lagi, ia akan berdansa dengan seorang River Monroe. Kesempatan yang sangat langka. Lyra ingat membantu menggunting puluhan, mungkin sampai seratus lebih pita yang berbeda warnanya. Namun, siapa sangka kalau dari segala warna yang ada, ia berpasangan dengan River? Lyra kira malam ini ia akan berdansa bebas tanpa memikirkan siapa pasangannya, lalu semua akan kembali seperti semula di keesokan hari.

Lyra hanya bisa berharap pesta dansa malam ini hanyalah semata senang-senang tanpa harus terbawa perasaan. Dirinya di mata River hanyalah gadis gaun biru yang bertopeng. Ketika mereka masuk setelah liburan musim dingin nanti, mereka akan kembali asing, menjalani hidup masing-masing di Foxcroft Academy. River dengan teman-teman elitnya, dan Lyra dengan kehidupan OSIS-nya.

"Apa kau gugup?"

"Eh-" Lyra mengerjapkan mata, lalu mendongak dan menatap River. "Tidak, kok."

"Kau seperti memikirkan sesuatu," terka River.

"Kenapa kau menyimpulkan seperti itu?"

River mengaitkan tangannya di pinggang Lyra, bersiap sebelum musik mulai diputar. "Mungkin karena kau melamun di saat pasangan dansamu sudah ada di depan mata. Itu membuatku sedikit ... sedih."

Sebelum Lyra bisa bertanya, tim orkestra sudah mulai memainkan musik. Semalam ia sudah berlatih dengan ayahnya, tetapi berdansa betulan-terlebih lagi dengan River, rasanya sangat berbeda. Gerakannya kaku, berbeda dengan River yang santai. Walaupun begitu, River tidak berkomentar. Cowok itu tersenyum tipis seakan benar-benar menikmati dansa ini.

"Omong-omong, kenapa tadi kau merasa sedih?" tanya Lyra setelah mulai terbiasa dengan langkah dansa.

"Entahlah. Sepertinya aku tidak ingin ketertarikan ini hanya sepihak."

Saking terkejutnya, Lyra sampai hampir tersandung. Kalau River tidak menahan pinggangnya, Lyra pasti sudah jatuh betulan. Lyra kemudian menunduk, malu untuk kembali menatap River. Tertarik? Apakah dia sedang melucu?

"Kurasa itu bukan hal yang tepat untuk dikatakan pada seseorang yang baru kau temui." River terkekeh pelan. "Tapi, aku sungguh tertarik."

Dengan segenap keberanian, Lyra memutuskan untuk bertanya, "Memangnya apa yang membuatmu tertarik padaku?"

Mengikuti alunan musik, River memutar Lyra. "Kau menarik," jawabnya begitu Lyra kembali menghadapnya. "Mengobrol denganmu sejauh ini cukup menyenangkan. Selain itu, senyummu cantik."

Senyum tipis merekah di wajah Lyra. "Apakah ini caramu menggoda perempuan?"

"Aku hanya menyebutkan fakta."

"Bukankah cantik itu subjektif?"

"Baiklah, aku ralat." River tertawa kecil. "Aku hanya menyebutkan pendapatku."

Baru sekarang Lyra paham kenapa River dipuja banyak perempuan. Tidak sedikit laki-laki tampan di Foxcroft, tetapi tawa River mampu membuat siapapun yang melihat jadi meleleh. Di balik topeng, mata River ikut membuat garis lengkung seakan senyumnya tulus dan bukan karena basa-basi.

"Kalau begitu, izinkan aku menyebutkan pendapatku juga." Lyra menarik napas, mempersiapkan diri sebelum mencoba menggoda River. "Kau punya tawa yang manis."

"Oh-" River mengatupkan bibirnya kembali. Samar-samar ujung telinga River tampak merona, lalu ia berdeham. "Bisakah kau jelaskan tawa yang manis itu seperti apa?"

"Tawa yang bisa menghentikan waktu orang lain, terjebak dalam satu momen mendebarkan yang tidak bisa lepas dari ingatanmu." Lyra mengernyitkan dahi mendengar kalimat asalnya sendiri. Tawa dan senyum River memang manis, tetapi rasanya tidak perlu penjelasan sedramatis itu. Manis ya manis saja, batin Lyra. Ia mengada-ada karena River juga tidak akan tahu siapa dirinya.

Namun, begitu River memalingkan wajah dan memperlihatkan telinganya yang semakin merona, Lyra rasa pura-pura menggoda merupakan langkah yang salah. Ia hanya ingin berdansa, bukan mengambil hati cowok paling populer di Foxcroft ini.

A Feather AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang