River sempat ingin masuk OSIS, tetapi melihat kesibukan Lyra membuatnya bersyukur ia memilih untuk fokus kepada basket saja. Saat video call semalam, River ingat Lyra berkata bahwa tugas desainnya untuk OSIS sudah selesai. Namun sekarang, Lyra sibuk menggambar di iPad-nya sampai tidak sadar kalau River berjalan mendekat. Samar-samar River menangkap gambar poster acara di layar iPad Lyra, dan entah apa yang dibetulkan karena kelihatannya sudah bagus di mata River.
"Kau masih ingin mengerjakan gambarmu di sini?" tanya River.
Lyra mendongak, terkesiap karena River sudah datang. "Tidak, kok," jawabnya singkat sambil memasukkan peralatannya ke dalam tas. Kemudian, dia berdiri dan tersenyum. "Ayo, kita pulang saja."
Setelah menuruni tangga dari tribun penonton, River kembali bertanya. "Desainmu ada yang harus direvisi?"
"Iya. Hanya di font dan pilihan warna saja, sih."
"Tapi bukankah kau mengerjakan banyak desain? Apa kau harus mengubah semuanya?"
Lyra hanya mengangguk pelan. Ada satu hal yang River sadari belakangan ini tentang Lyra. Dia tidak pernah mengeluh. Seberat apapun pekerjaannya di OSIS, dia mengerjakan semuanya dengan sepenuh hati. River tidak yakin apakah itu karena kebiasaannya menyimpan semua sendiri atau memang dia sangat menyukai bekerja untuk OSIS, tetapi pastinya lelah melakukan semua itu.
Seiring melangkah keluar dari gedung olahraga, River merangkul Lyra dan mengelus pundaknya pelan dengan ibu jari. "Kalau kau lelah, beristirahatlah sebentar. Jangan memaksakan diri, oke?"
Tidak ada jawaban dari Lyra, tapi dia juga tidak menjauh atau menolak gestur tersebut. Dia mengembuskan napas panjang, tangannya dimasukkan ke dalam saku blazer. Kalau seperti ini, River pun tak lanjut bicara. Ia tidak ingin membuat Lyra tak nyaman dengan memaksanya bercerita atau memberikan saran-saran yang tak dibutuhkan. River cukup mengingatkan Lyra bahwa dia selalu ada di sampingnya, meskipun ia tahu Lyra masih ragu untuk sepenuhnya membuka diri.
Sesampainya di parkiran, River membukakan pintu mobil untuk Lyra sebelum dirinya masuk. Setelah duduk, River menyalakan mesin mobil. "Kau ingin mendengarkan lagu atau tidak?" tanyanya sebelum mengecilkan atau membesarkan volume radio.
"Boleh."
River pun membesarkan suara, tidak terlalu kencang tapi cukup untuk mengisi keheningan selagi menyetir. Belum lama keluar dari area Foxcroft Academy, Lyra sudah memejamkan mata. River tersenyum kecil. Sepertinya dia sangat lelah.
Di saat-saat seperti ini, River sedikit berharap bahwa dirinya bisa menjadi sandaran yang lebih baik bagi Lyra, dan bukan hanya dalam arti harfiah saja. Namun, mereka baru mulai lebih mengenal satu sama lain hampir sebulan. Butuh proses untuk bisa lebih saling memercayai satu sama lain, khususnya bagi Lyra yang memiliki kepribadian tertutup.
Saat River menghentikan mobil di depan rumah Lyra, cewek itu masih tertidur. River melepas sabuk pengaman, lalu membelai pelan kepala Lyra. "Kita sudah sampai."
Lyra mengerutkan hidung seakan belum ingin bangun, dan River baru tahu dia bisa begitu saat tertidur. River terkikih melihatnya. Walau menyenangkan memperhatikan ekspresi Lyra, River ingin dia tidur di tempat yang lebih baik daripada kursi mobil seperti ini.
"Lyra," panggil River, kali ini ia mencoba untuk mengelus pundaknya. "Kita sudah berada di depan rumahmu."
Kali ini kelopak mata Lyra mulai bergerak. "Hmm?" gumamnya.
Pelan-pelan, Lyra membuka mata. Dia menutup mulutnya dengan tangan saat menguap, lalu membelalakkan mata begitu menyadari mereka berada di mana. "Astaga, aku tertidur berapa lama?"
"Dari kita berangkat sampai berhenti di sini."
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk tidur," ucap Lyra dengan sorot mata bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Feather Away
Teen FictionPada pesta dansa musim dingin bertema masquerade, siapa sangka kalau Lyra berpasangan dengan laki-laki yang paling didambakan di Foxcroft Academy? Meskipun menggunakan topeng, semua orang tentunya akan mengenal River Monroe yang senyum tampannya san...