8 | A Cloudy Dream

3.7K 356 6
                                    

Semua tidak semudah yang River bayangkan. Setelah rapat OSIS beberapa hari lalu, River belum ada kemajuan dengan Lyra. Yah, mereka mulai saling sapa, walau hanya dengan anggukan kecil. River justru lebih lancar menyapa Maya karena mereka satu kelas di AP Environmental Science. River tidak memiliki satu kelas pun yang sama dengan Lyra di tahun ini karena kurikulum Foxcroft yang berbeda. Mata pelajaran wajib dihabiskan saat tahun pertama dan kedua, lalu murid bebas memilih kelas yang mereka inginkan saat tahun junior dan senior. River fokus pada kelas sains karena ia kemungkinan besar akan berkuliah di jurusan biokimia atau farmasi. Sedangkan Lyra, River hanya tahu dia mengambil kelas AP Drawing.

Melihat keluarga Lyra, River rasa dia memang fokus pada seni atau ilmu sosial. Setelah sedikit stalking pada media sosial-sekali lagi, River tidak bermaksud buruk, ternyata orang tua Lyra memiliki bisnis vendor pernikahan. Ibunya memiliki butik gaun pernikahan yang terbilang mewah, dan ayahnya fotografer profesional.

Namun, dengan semua informasi yang River miliki, apa gunanya kalau ia tidak bisa mendekati Lyra? Rasanya seperti pengecut yang hanya bisa memandang gebetannya dari kejauhan.

Tidak pernah ada momen yang pas bagi River untuk mencoba bicara dengan Lyra. Sebenarnya, River bisa saja menariknya ke kelas kosong saat bertemu di koridor, tetapi ia tak ingin terlihat freak dan memaksa. Cara lain adalah mencoba berbicara dengannya melalui direct message Instagram, tapi River kurang suka cara itu. Ia tak bisa melihat ekspresi Lyra atau mendengar suaranya kalau dari media sosial.

River menghembuskan napas panjang. Hari ini, latihan basketnya berakhir lebih cepat karena dilakukan secara mandiri. Pelatih mereka berhalangan hadir sehingga mereka hanya latihan fisik dan bermain basket sebentar. Seharusnya River sudah berjalan menuju parkiran, tetapi ia malah melangkah asal di jalan setapak yang merupakan jalan pintas dari gedung olahraga ke perpustakaan. Mengingat hari yang sudah menuju sore, Foxcroft terbilang sepi saat ini. River berandai dirinya tiba-tiba berpapasan dengan Lyra, tapi sepertinya tidak mungkin.

Kadang-kadang, River merasa konyol. Dirinya dibuat gundah gulana hanya karena seorang perempuan. Rasanya frutasi karena River tidak bisa mengobrol dan melihat tawa manisnya dari dekat. Frustasi ini perlahan berubah jadi kekhawatiran karena bagaimana jika ia tidak bisa berprogres, dan Lyra sudah melupakan malam dansa itu dan menaruh hati pada orang lain?

Lagi-lagi, hembusan napas panjang keluar dari River. Tanpa sadar, ia sudah berada di depan gedung perpustakaan. Sudah lama sejak River datang ke sini. Terakhir kali, ia mengerjakan tugas kelompok untuk sejarah di tahun lalu. River mengecek jam tangannya, dan karena belum terlalu sore, ia memilih untuk mencoba masuk.

"Oh, selamat datang!" sapa penjaga perpustakaan, Mrs. Anderson. "Ada keperluan apa, Nak? Perpustakaan akan tutup setengah jam lagi, jadi kalau kau butuh sesuatu, mungkin aku bisa membantumu agar lebih cepat."

"Aku hanya ingin melihat-lihat saja, kok," jawab River. "Paling lama mungkin lima belas menit."

Mrs. Andersen mengangguk pelan. "Kalau begitu, bolehkah aku meminta tolong?"

"Ada apa?"

"Rekanku, Lucy, izin pulang lebih cepat karena sakit. Biasanya dia berkeliling untuk mengecek murid-murid yang belum pulang saat perpustakaan akan tutup." Mrs. Andersen tersenyum tipis. "Aku sudah cukup tua, dan kakiku mudah lelah bila naik turun tangga. Bisakah kau bantu aku mengecek lantai dua?"

"Tentu saja. Aku harus menyuruh mereka pulang atau bagaimana?"

"Bilang saja perpustakaan akan ditutup. Aku tidak ingin ada anak yang terkunci lagi seperti waktu itu," jawab Mrs. Anderson.

"Baiklah."

"Terima kasih, Nak."

River pun berlalu, berjalan asal di lantai satu sebelum menuju tangga. Beberapa murid terlihat duduk dan membaca di sofa, beberapa menggunakan laptop atau iPad mereka di meja diskusi. Melihat mereka beraktivitas dengan tenang dan nyaman, River jadi ingin mencoba sering-sering belajar di perpustakaan juga.

Setelah puas melihat lantai satu, River menaiki tangga. Lantai dua didominasi dengan meja-meja belajar, ruang diskusi, dan ruang belajar pribadi. River mengecek satu per satu ruangan tersebut, dan jika ada yang menempati, ia memberitahu bahwa Mrs. Anderson akan segera menutup perpustakaan.

Sesampainya di ruang terakhir yang kosong, River juga tiba di area meja belajar yang menempel dengan jendela. Hanya ada satu orang yang menempati bagian ini. Seiring mendekat, ternyata itu adalah siswi berambut pirang yang tertidur dengan kepala di atas meja.

Jantung River mulai berdegup lebih cepat. Bisa jadi ini Lyra. Ia melangkah pelan, tidak ingin mengagetkan cewek itu. Ketika bisa melihat wajahnya, River tertegun.

Benar, itu Lyra. Tapi, baru kali ini River melihat seseorang terlihat sangat tenang damai dalam tidur. River tidak tega membangunkannya, tapi tentu ia tak bisa diam saja di sini. Bisa-bisa dirinya akan dicap menyeramkan karena memperhatikan cewek yang tidur.

River hendak menyentuh pundak Lyra, tapi tertahan begitu melihat buku gambar yang terbuka di samping kepalanya. Terdapat sketsa laki-laki bertopeng dengan jas. River terkesima karena sketsanya sangat realistis, terlebih lagi hanya dengan pensil. Namun, semakin dilihat, detail pada topengnya semakin terasa familiar. River ingat topeng yang ia kenakan memiliki outline putih yang mengelilingi bagian mata. Bentuk wajah laki-laki di gambar tersebut juga mirip dengannya.

"Hmm," Lyra mengerjapkan mata pelan-pelan, menatap River sayu. "Kau ..." Jemari lentik Lyra memegang ujung lengan mantel River, "kenapa kau ada di sini?"

"Perpustakaan akan ditutup," jawab River dengan tenang, walau sebenarnya ia terkejut dengan gestur Lyra.

"Tidak mungkin kau jadi penjaga perpustakaan." Sudut bibir Lyra membentuk senyum tipis. "Mimpi macam apa ini?"

Kemudian, terbesit ide jenaka di kepala River. Ia membungkuk hingga kepalanya sejajar dengan Lyra. "Menurutmu, kenapa aku ada di mimpimu?"

"Karena kau ada di pikiranku." Jika itu belum cukup untuk mendebarkan hati River, Lyra tiba-tiba menyentuh pipinya. Sentuhan tersebut membekukan River di tempat, tapi di saat yang bersamaan, rasanya juga seperti setruman yang menjalar ke seluruh tubuh. "Pipimu halus. Kenapa kau rasanya sangat nyata?"

Lyra mengerjapkan matanya lagi. Jempolnya berhenti meraba pipi River, lalu matanya membelalak. "Oh sh-" Ia nyaris mengumpat dan terperanjat. Tangannya buru-buru menutup buku gambar, lalu mengusap wajah dan merapikan helaian rambut yang menempel di pipi setelah tertidur. "Maaf. Aku tidak bermaksud," ucapnya pelan.

Tawa kecil keluar dari bibir River. Ia pun bersandar pada meja dan mengantongi kedua tangan di saku celana. "Aku diminta Mrs. Anderson untuk memberitahu orang-orang di lantai dua kalau perpustakaan akan ditutup. Jadi, tolong rapikan barangmu."

Lyra terdiam dan membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Begitu mejanya sudah kosong, ia mendongak menatap River. "Kenapa kau menungguku?"

Kali ini, River tidak akan menyia-nyiakan kesempatannya.

"Bukankah ada yang harus kita bicarakan?"

A Feather AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang